BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya anak berbakat berprestasi kurang (AB2K) adalah
suatu istilah yang ambigius, karena di satu sisi dia adalah individu-individu
yang memiliki potensi tinggi, namun di sisi lain mereka menunjukkan prestasi
yang rendah. Anak berbakat berprestasi kurang (AB2K) dapat diidentifikasi pada
semua level akademik, walaupun mereka sering kali baru teridentifikasi pada
Sekolah Menengah. Berdasarkan informasi dari guru, anak berbakat berprestasi
kurang (AB2K) sering menampakkan dirinya sebagai yang malas, tidak tertarik
dalam belajar, bosan, rebellious, dan irksome.
Sebagaian besar guru sering kali mengatakan bahwa mereka
padahakekatnya masih bisa berbuat lebih baik daripada apa yang dilakukan pada
saat itu. Dengan kata lain bahwa sebagian besar anak berbakat akademik
cenderung menunjukkan gejala berprestasi kurang, karena mereka jarang sekali
mendapatkan tantangan yang lebih berarti untuk memenuhi tingkat potensi yang
dimiliki.Menyadari akan kondisi tersebut, mungkin tidak ada situasi yang lebih
mampu membuat frustasi bagi orangtua atau guru daripada hidup atau bekerja
bersama dengan anak-anak yang tidak dapat tampil secara akademik sama baiknya
dengan potensi yang dimilikinya. Anak-anak yang menunjukkan gejala-gejala yang
demikian sering diberi sebutan sebagai anak berprestasi kurang.
Pada titik mana gejala berprestasi kurang berakhir dan mulai
muncul? Bagaimana dengan anak berbakat yang gagal di bidang matematika
sementara itu dia mampu berprestasi sangat tinggi di bidang bahasa? Apakah anak
berbakat berprestasi kurang terjadi secara tiba-tiba, atau gejala berprestasi kurang
lebih baik didefinisikan sebagai seperangkat penampilan yang lemah untuk waktu
yang lama? Tentu fenomena berprestasi kurang adalah sebagai sesuatu yang
komplek dan multifaced.
Menyadari akan kompleksnya persoalan berprestasi kurang pada anak berbakat,
maka selanjutnya dikaji berbagai aspek secara lebih detil, demikian pula
berbagai upaya yang dilakukan untuk penanganannya.
Pengembangan
sumber daya manusia berkualitas yang mampu mengantar Indonesia ke posisi
terkemuka, atau paling tidak sejajar dengan negara-negara lain pada hakikatnya
menuntut komitmen akan dua hal, yaitu:
Penemukenalan dan pengembangan
bakat-bakat unggul dalam berbagai bidang.
Penumpukan
dan pengembangan kreativitas -yang pada dasarnya dimiliki setiap orang- tapi
perlu ditemukenali dan dirangsang sejak usia dini.
Seorang anak
dikatakan anak luar biasa karena ia berbeda dengan anak-anak lainnya. Perbedaan
terletak pada adanya ciri-ciri yang khas yang menunjukkan pada keunggulan
dirinya. Namun, ‘keunggulan’ tersebut selain menjadi sebuah kekuatan dalam
dirinya sekaligus menjadi ‘kelemahan’. Yang dimaksud sebagai kelemahan di sini
adalah diabaikannya ia sebagai individu yang memiliki hak sama dalam
mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dirinya.
Anak-anak
berbakat memiliki potensi yang luar biasa, baik untuk menjadi pribadi yang
positif ataupun yang negatif. Hal ini ditentukan oleh penanganan yang mereka
pada masa tumbuh kembang, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat di
mana dia tinggal.
Mereka
adalah bibit yang siap tumbuh, sebagaimana tanaman yang merupakan bibit unggul
tidak serta merta menjadi tumbuhan yang luar biasa, karena akan bergantung pada
keadaan tanah di mana ia ditanam, bagaimana unsur haranya, mineralnya,
bagaimana pemupukan yang ia terima, penyinaran mataharinya dan lain sebagainya.
Orangtua dan
pendidik seyogyanya menyadari pentingnya pengenalan tanda-tanda anak berbakat,
dengan demikian bisa menentukan pendekatan apa yang tepat dan bagaimana cara
menerapkan pada pola didik anak yang bersangkutan.
B.
Rummusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan anak berbakat?
2.
Apa
saja macam-macam keberbakatan anak?
3.
Apa
saja faktor-faktor yang mempengaruhi keberbakatan anak?
4.
Bagaimana
karakteristik anak berbakat?
5.
Bagaimana
upaya penanganan anak berbakat?
6.
Bagaimana
layanan yang ditujukan untuk anak berbakat?
7.
Apa
saja problematika anak berbakat?
C.
Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui pengertian anak berbakat, klasifikasi anak berbakat,
dan sgala sesuatu yang berhubungan dengan keberbakatan anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
pengertian Anak Berbakat
Definisi menurut USOE (United States Office of Education), anak
berbakat adalah anak yang dapat membuktikan kemampuan berprestasinya yang tinggi
dalam bidang-bidang seperti intelektual, kreatif, artistik, kapasitas
kepemimpinan atau akademik spesifik dan mereka yang membutuhkan pelayanan atau
aktivitas yang tidak sama dengan yang disediakan di sekolah sehubungan dengan
penemuan kemampuan-kemampuannya (Hawadi, 2002).
Keberbakatan (giftedness)dan keunggulan dalam kinerja
mempersyaratkan dimilikinya tiga cluster ciri-ciri yang saling terkait, yaitu:
kemampuan umum atau kecerdasan di atas rata-rata, kreativitas, dan pengikatan
diri terhadap tugas sebagai motivasi internal cukup tinggi. Oleh karena itu,
untuk menumbuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, ketiga karakteristik
tersebut perlu ditumbuhkembangkan dalam tiga lingkungan pendidikan, yakni
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keberbakatan merupakan interaksi antara kemampuan umum dan atau
spesifik, tingkat tanggung jawab terhadap tugas yang tinggi, dan tingkat
kreativitas yang tinggi (Renzulli dalam hawadi, 2002).
Sedangkan menurut Depdiknas (2003), anak berbakat adalah mereka
yang oleh psikolog dan atau guru diidentifikasi sebagai peserta didik yang
telah mencapai prestasi memuaskan dan memiliki kemampuan intelektual umum yang
berfungsi pada taraf cerdas, kreativitas yang memadai, dan keterikatan pada
tugas yang tergolong baik.
B.
Klasifikasi Anak Berbakat
Anak yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata dapat
diklasifikasikanmenjadi tiga kelompok, seperti dikemukakan oleh Sutratinah
Tirtonegoro (1984; 29) yaitu; Superior, Gifted dan Genius.Ketiga kelompok anak
tersebut memiliki peringkat ketinggian intellegnsi yang berbeda.
1. Genius
Genius ialah anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, sehingga
dapat menciptakan sesuatu yang sangat tinggi nilainya. Intelligence Quotien-nya
(IQ) berkisar antara 140 sampai 200.Anak genius memiliki sifat-sifat positif
sebagai berikut; daya abstraksinya baik sekali, mempunyai banyak ide, sangat
kritis, sangat kreatif, suka menganalisis, dan sebagainya. Di samping memiliki
sifat-sifat positif juga memiliki sifat negatif, diantaranya; cenderung hanya
mementingkan dirinya sendiri (egois), temperamennya tinggi sehingga cepat
bereaksi (emosional), tidak mudah bergaul, senang menyendiri karena sibuk
melakukan penelitian, dan tidak mudah menerima pendapat orang lain.
2. Gifted
Anak ini disebut juga gifted and talented adalah anak yang
tingkatkecerdasannya (IQ) antara 125 sampai dengan 140. Di samping memiliki IQ
tinggi, juga bakatnya yang sangat menonjol, seperti ; bakat seni musik, drama,
dan ahli dalam memimpin masyarakat. Anak gifted diantaranya memiliki karakteristik;
mempunyai perhatian terhadap sains, serba ingin tahu, imajinasinya kuat, senang
membaca, dan senang akan koleksi.
3. Superior
Anak superior tingkat kecerdasannya berkisar antara 110 sampai
dengan 125sehingga prestasi belajarnya cukup tinggi.Anak superior memiliki
karakteristik sebagai berikut; dapat berbicara lebih dini, dapat membaca lebih
awal, dapat mengerjakan pekerjaan sekolah dengan mudah dan dapat perhatian dari
teman temannya. James H. Bryan and Tanis H. Bryan (1979; 302) mengemukakan
bahwa karakteristik anak berbakat itu (gifted) meliputi; physical, personal,
and social characteristics. Sedangkan David G. Amstrogn and Tom V. Savage
(1983; 327) mengemukakan; “Gifted and talented students are individuals who
arecharacteristized by a blaned of (1) high intelligence, (2) high task
comitment, and (3) high creativity. Secara umum hampir semua pendapat itu sama,
bahwa anak berbakat memiliki kemampuan yang tinggi jika dibandingkan dengan
anak-anak pada umumnya.
Hasil studi lain menemukan bahwa “Anak-anak berbakat memiliki
karakteristik belajar yang berbeda dengan anak-anak normal. Mereka cenderung
memiliki kelebihan menonjol dalam kosa kata dan menggunakannya secara luwes,
memiliki informasi yang kaya, cepat dalam menguasai bahan pelajaran, cepat
dalam memahami hubungan antar fakta, mudah memahami dalil-dalil dan
formulaformula, tajam kemampuan analisisnya, membaca banyak bahan bacaan (gemar
membaca), peka terhadap situasi yang terjadi di sekelilingnya, kritis dan
memiliki rasa ingin yang sangat besar” (Renzuli, 1979, Fahrle dkk.; 1985,
Galagher, 1985, Maker; 1982) dalam Dedi Supriadi (1992; 9).
C.
Factor Penyebab Keberbakatan Anak
Ada beberapa faktor penyebab keberbakatan anak, diantaranya:
1.
Faktor
Genetik dan Biologis Lainnya
Pendapat bahwa intelegensi dan kemampuan yang berkualitas adalah
diturunkan kurang dapat diterima di masayarakat yang memandang bahwa semua
orang itu sama. Penelitian dalam genetika perilaku menyatakan bahwa setiap
jenis dalam perkembangan perilaku dipengaruhi secara signifikan melalui gen/keturunan.
Namun demikian faktor biologis juga tidak dapat diingkari, faktor
biologis yang belum bersifat genetik yang berpengaruh pada intelegensi adalah
faktor gizi dan neurologik. Kekurangan nutrisi dan gangguan neurologik pada
masa kecil dapat menyebabkan keterbelakangan mental. Studi dari Terman terhadap
orang-orang yang memiliki IQ tinggi menunjukkan keunggulan fisik seperti:
tinggi, berat, daya tarik dan kesehatan, dibandingkan mereka yang
intelegensinya lebih rendah.
Penekanannya adalah, individu tidak mewarisi IQ atau bakat. Yang
diwariskan adalah sekumpulan gen yang bersama dengan oengalaman-pengalaman akan
menentukan kapasitas dari intelegensi dan kemampuan-kemampuan lainnya (Zigler
& Ferber, dalam Hallahan & Kauffman, 1994).
2. Faktor Lingkungan
Stimulasi,
kesempatan, harapan, tuntutan, dan imbalan akan berpengaruh pada proses belajar
seorang anak. Penelitian tentang individu-individu berbakat yang sukses
menunjukkan masa kecil mereka di dalam keluarga memiliki keadaan sebagai
berikut:
a.
Adanya
minat pribadi dari orang tua terhadap bakat anak dan memberikan dorongan
Orangtua sebagai panutan
b.
Ada
dorongan dari orangtua untuk menjelajah
c.
Pengajaran
bersifat informal dan terjadi dalam berbagai situasi, proses belajar awal lebih
bersifat eksplorasi dan bermain
d.
Keluarga
berinteraksi dengan tutor/mentor
e.
Ada
perilaku-perilaku dan nilai yang diharapkan berkaitan dengan bakat anak dalam
keluarga
f.
Orangtua
menjadi pengamat latihan-latihan, memberi pengarahan bila diperlukan,
memberikan pengukuran pada perilaku anak yang dilakuakn dengan terpuji dan
memenuhi standard yang ditetapkan
g.
Orangtua
mencarikan instruktur dan guru khusus bagi anak
h.
Orantua
mendorong keikutsertaan anak dalam berbagai acara positif di mana kemampuan
anak dipertunjukkan pada khalayak ramai
Anak-anak yang disadari memiliki potensi perlu dikembangkan, perlu
memiliki keluarga yang penuh rangsangan, pengarahan, dorongan, dan
imbalan-imbalan untuk kemampuan mereka.
Penelitian lain menunjukkan bahwa kelompok budaya atau etnik-etnik
tertentu menghasilkan lebih banyak anak-anak berbakat walaupun tingkat sosial
ekonominya berbeda. Hal ini dikaitkan dengan mobilitas sosial dan nilai yang
tinggi pada prestasi di dalam bidang-bidang tertentu yang ada dalam kelompok
budaya dan etnik tertentu yang menjadi kontribusi dalam keberbakatan.
Jadi lingkungan memeiliki pengaruh yang banyak terkait bagaimana
genetik anak diekspresikan dalam kesehariannya. Faktor keturunan lebih
menentukan rentang di mana seseorang akan berfungsi, dan faktor lingkungan
menentukan apakah individu akan berfungsi pada pencapaian lebih rendah atau
lebih tinggi dari rentang tersebut.
D.
Karakteristik Anak Berbakat
Biasanya anak yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat
yang luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Mereka biasanya
cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri, lebih berani mengambil resiko
(tetapi dengan perhitungan) daripada anak-anak pada umumnya.
Artinya dalam melakukan sesuatu yang bagi mereka amat berarti,
penting, dan disukai, tidak terlalu menghiraukan kritik atau ejekan orang lain.
Merekapun tidak merasa takut untuk membuat kesalahan dan mengemukakan pendapat
mereka walaupun mungkin tidak disetujui orang lain.
Orang yang inovatif cenderung menonjol, berbeda, membuat kejutan,
atau menyimpang dari tradisi/kebiasaan setempat. Rasa percaya diri, keuletan,
dan ketekunan membuat mereka tidak cepat putus asa dalam mencapai tujuan
mereka. Thomas Alpha Edioson mengungkapkan bahwa “Genius is 1% inspiration and
99% perspiration”.
Treffinger mengatakan bahwa pribadi yang kreatif biasanya lebih
terorganisasi dalam tindakan. Rencana inovatif serta produk orisinil mereka
telah dipikirkan matang-matang lebih dahulu, dengan mempertimbangkan masalah
yang mungkin timbul dan implikasinya.
Apabila dilihat dari kemampuan –kemampuan yang membedakan mereka
dari anak-anak sebayanya, maka kita akan menemukan karakteristik – karakteritik
berikut pada anak-anak berbakat.
a.
Karakteristik
kognitif
v Kualitas luar biasa di informasi
v Ingatan yang kuat
v Kebiasaan perubhan minat & keinginan kemampuan menghasilkan
ide-ide dan solusi yang asli’
b.
Karakteristik
bahasa
v Kemampuan verbal
v Perkembangan yang tinggi pada pengenalan bahasa dan penulisan
bahasa.
v Perkembangan yang baik pada perkembangan sensorik
v Tidak kebal untuk keretakan kekurangan integrasi di antara pikiran
dan badan.
c.
Karakteristik
afektik
v Pendekatan evaluasi terhadap diri sendiri dan lainya.
v Gigih, tujuan perilaku tak langsung.
v Kepekaan yang tak bias untuk harapan & perasaan orang lain.
v Tingginya kesadaran diri, menyesuaikan dengan perbedaan perasaan.
v Perkembangan awal dalam focus of control dan kepuasan kedalam
dan identitas emosional yang tidak biasa.
v Harapan yang tinggi dan lainya, sering menuju tingkat frustasi
dirinya, lainya dan situasinya.
v Kemampuan tingkat perkembangan moral.
v Kemajuan kognitif dan kapasitas afektif dan konseptualisasi dan
pemecahan masalah sosial.
E.
Upaya Penangan Anak Berbakat
1.
Keluarga
Berbagai
penelitian pakar psikologis menemukan bahwa sikapo dan nilai orangtua berkaitan
erat dengan kreativitas anak. Beberapa faktor dalam peran orangtua yang
menentukan adalah sebagai berikut:
1.1.Kebebasan
Orangtua sebaiknya memberikan kebebasan pada anak, tidak otoriter,
tidak selalu mau mengawasi anak, dan tidak terlalu membatasi kegiatan anak.
Mereka juga tidak terlalu cemas mengenai anak mereka
1.2.Respek
Orangtua hendaknya menghormati anak-anak mereka sebagai individu,
percaya akan kemampuan mereka, dan menghargai keunikan mereka. Dengan sikap
seperti ini, anak-anak akan secara alamiah mengembangkan kepercayaan diri untuk
berani melakukan sesuatu yang orisinal
1.3. Kedekatan emosional yang sedang
Kreativitas anak
akan terhambat dengan suasana emosional yang mencerminkan rasa permusuhan,
penolakan, atau rasa terpisah. Tetapi keterikatan emosional yang berlebih juga
tidak menunjang pengembangan kreativitas anak. Anak perlu merasa bahwa ia
diterima dan disayangi tetapi seyogyanya tidak terlalu tergantung kepada
orangtua.
1.4.Prestasi, bukan angka
Orangtua harus
menghargai prestasi anak, mendorong anak untuk berusaha sebaik-baiknya dan
menghasilkan karya-karya yang baik. Tetapi tidak terlalu menekankan mereka
untuk mencapai angka atau nilai tinggi, atau peringkat tertinggi
1.5. Orangtua aktif dan mandiri
Orangtua adalah
model bagi anak, orangtua yang kreatif merasa aman dan yakin tentang diri
sendiri, tidak memperdulikan status sosial, dan tidak terlalu terpengaruh oleh
tuntutan sosial.
1.6.Menghargai kreatifitas
Anak membutuhkan
apresiasi atas segala pencapaian mereka, hal itu akan membuat mereka merasa apa
yang telah mereka kerjakan tidak sia-sia dan sangat berharga. Sehingga memacu
mereka untuk terus berkarya.
2.
Sekolah
Anak berbakat membutuhkan guru yang tidak sekedar baik, tapi
memahami bagaimana cara terbaik dan tepat untuk menangani anak berbakat.
Mandell dan Fiscus (dikutip Sisk, 1987) melaporkan hasil penelitian bahwa anak
berbakat dapat bereaksi dengan kemarahan, kebencian, atau kesebalan jika guru
mereka. Ward menyebutkan bahwa anak berbakat memerlukan pendidikan yang
berdifferensiasi, yaitu pendidikan yang sesuai dengan minat dan kemampuan
intelektualnya. Melalui pengembangan kurikulum yang berdifferensiasi, maka
keberbakatan akan muncul dengan sendirinya melalui prestasi dan karya-karya
mereka.
3.
Identifikasi
Anak Berbakat
Pengertian kontemporer tentang keberbakatan memang telah demikian
berkembang dan kriterianya sudah lebih multidimensional daripada sekedar
intelegensi (umum, atau “g faktor” menurut Spearman) seperti yang pernah
digunakan oleh Terman.IQ hanya salah satu kriteria keberbakatan. Dengan
perluasan kriteria ini, persoalan identifikasi anak-anak berbakat menjadi lebih
rumit dan harus menggunakan beragam teknik dan alat ukur, Idealnya semua
kriteria tersebut harus dideteksi dengan menggunakan teknik dan prosedur,
karena menurut berbagai studi tidak semua dari faktor-faktor itu berkorelasi
satu sama lain. Misalnya IQ dan kreativitas.
Keberbakatan itu bersifat multidimensional, kriterianya tidak hanya
intelligensi, melainkan kreativitas, kepemimpinan, komitmen pada tugas,
prestasi akademik, motivasi dan lain-lain. Renjuli dkk. (1979) dalam Dedi
Supriadi (1992; 10). Mengembangkan skala yang disebut Scales for Rating
Behavioral Characteristices of Superor Students (SRBCSS) yang mencakup sepuluh
karakteristik; beilajar, motivasi,eativitas, kepemimpinan, artistik, musik.
drama, komunikasi, komunikai eksprsif, dan perencanaan. Penjaringan terhadap
keberbakatan intelektual dalam kelompok populasi tertentu pada umumnya bertolak
dari perkiraan kurang lebih 15 % sampai 25 % populasi sampel yang secara kasar
merupakan identfikasi permulaan dalam menghadapi seleksi yang lebih cermat.
Penjaringan keberbakatan bisa menggunakan nominasi gurutentang
kemajuan sehari-hari siswa, namun bisa juga melalui penilaian beberapa mata
pelajaran tertentu tergantung dari tujuan penjaringan. Penjaringan atau penyaringan
dapat juga menggunakan tes psikologis yang didasarkan pada beberapa aspek
tertentu, tetapi yang paling penting hsrus diketahui untuk keperluan apa tes
dilakukan. Tujuan akanmemberikan dasar terhadap penilaian, kemampuan, sifat,
sikap atau prilaku seseorang.
Kepada anak harus diberitahukan bahwa penilaian yang baik
akanmenempatkan dia pada posisi yang menguntungkan dalam arti tidak akan
menuntut dia melakukan pekerjaan atau kinerja yang tidak sesuai dengan
kemampuannya. Identifikasi ini biasanya berguna bagi peramalan tentang kinrja
tertentu di dalam waktu yang akan datang.
Pola dan tahap identifkasi yang dilakukan di muka, yang terdiri
dari penjaringan dan penyaringan sebagai identifikasi kasar yang kemudian
diperhalus melalui suatu proses seleksi memiliki berbagai variasi, tergantung
dari keperluan Dengan demikian kini klasifikasi bakat juga mencakup
kreativitas, motivasi dan kepemimpinan.
Beberapa permasalahan dalam identifikasi diantaranya masih banyak
pelanggaran terjadi dalam aplikasi prinsip-prinsip identifikasi. Beberapa
penyalahgunaan prinsip identifikasi antara lain, adalah perbedaan antara
“gifted dan talen..Dengan menyusun suatu hierarkhie pengertian dengan menunjuk
kepada pengertian kemampuan umum intelektual yang diukur oleh tes intellegensi
bagi pengertian keberbakatan, dan bakat khusus akademis serta kemampuan
kepemimpinan dan bakat seni untuk pengetian talen.
Sistem identifikasi SEM, ciptaan Renzulli agak berbeda dengan yang
lain, ia mengemukakan 6 langkah identifikasi, yaitu sebagai berikut :
Beranjak dari penjaringan berdasarkan skor tes, tetapi mereka yang
belum terjaringtidak seluruhnya ditinggalkan, karena ingin menjangkau kurang
lebih 15 % daripopulasi. Semua anak yang skornya di atas persentil ke 85
biasanya akan terjaring melalui tes inteligensi yang telah terstandardisasikan.
Untuk memberi peluang padakelompok yang lebih luas, kita membagi
“pool” keberbakatan menjadi dua bagiandan semua siswa yang skornya di atas
persentil ke 92 (menurut norma lokal) padaumumnya sudah otomatis termasuk
“pool” tersebut, dan biasanya terdiri dari 50 %jumlah populasi sampel. Skor tes
yang dimaksud biasanya suatu tes inteligensi atautes hasil belajar atau tes
bakat tunggal, yang memberi peluang pada seseorang yangbaik dalam bidang
tertentu, tetapi mungkin tidak baik dalam bidang yang lain, untukdapat
dimasukkan dalam “pool” tersebut. Ciri utama keberbakatan, yaitukemampuan di
atas rata-rata keterlekatan pada tugas dan kreativitas dapat dijaringmelalui
aspek psikometrik, aspek perkembangan, aspek kinerja dan aspeksosiometrik
dengan berbagai alat.
Langkah kedua merupakan nominasi guru yang bagaimanapun juga harus
dihargaisama dengan hasil skor tes. Dalam nominasi ini digunakan skala
penilaian (ratingscale) untuk memperoleh gambaran tentang profil kemampuan
anak.
Langkah ketiga adalah cara alternatif lain, yang bisa merupakan
nominasi temansebaya, nominasi orang tua atau nominasi diri, maupun tes
kreativitas. Kalau padaskor tes yang tinggi nominasi itu secara otomatis bisa
diterima, tidaklah demikianpada langkah ketiga yang harus melalui suatu panitia
peneliti.
Langkah keempat adalah nominasi khusus yang merupakan review
terakhir darimereka yang sebelumnya tak terlibat dalam nominasi-nominasi
tersebut. Merekamemperoleh seluruh daftar nominasi hasil langkah kesatu sampai
langkah ketigadan boleh menambah nominasi orang lain, bahkan juga boleh
mengusulkan untukmembatalkan nominasi tertentu berdasarkan pengalaman tertentu
dengan anaktertentu.
Langkah kelima adalah nominasi informasi tindakan, proses ini
terjadi bila gurusetelah memperoleh penataran dalam pendidikan anak berbakat,
dapat melakukaninteraksi yang dinamis, sehingga meningkatkan motivasi dan
interes anak untuksuatu topik atau bidang tertentu di sekolah ataupun di luar
sekolah.
Langkah keenam adalah penyaringan melalui tes dan menjadi cara yang
populer,antara lain karena menghargai kriteria non tes. Tetapi lebih dari itu
potensi-potensiyang terjaring dari seluruh populasi sekolah telah memberi
peluang pada anak lainyang bukan karena kemampuan umumnya, melainkan mungkin
karena sebab lainyang biasanya tidak terjaring oleh skor tes, untuk tetap
diperhatikan dandimasukkan dalam “pool” anak berbakat sekolah tersebut. (Conny
Semiawan; 117-122).
Alat yang dapat dipergunakan dalam melakukan identifikasi anak berbakatdiantaranya
adalah :
Kemampuan intelektual umum; Galton dalam Conny Semiawan (1994;
124)“Pengukuran kemampuan intelektual umum diperoleh melalui pengukuran
kekuatanotot, kecakapan gerak, sensitivitas terhadap rasa sakit, kecermatan
dalampendengaran dan penglihatan, perbedaan dalam ingatan dan lain-lain yang
semuadisebut “tes mental”.
Tes inteligensi umum; Salah
satu perkembangan yang amat penting dalampengmbangan pengukuran intelegensi
adalah timbulnya skala Wechsler dalammengukur inteligensi orang dewasa dengan
menggunakan norma tes bagiperhitungan IQ yang menyimpang.
Tes kelompok kontra tes individual; Tes kelompok lebih banyak
digunakan dalamsistem pendidikan, pelayanan pegawai, industri dan militer. Tes
kelompokdirancang untuk sekelompok tertentu, biasanya tes kelompok menyediakan
lembar jawaban dan “kunci-kunci” tes. Bentuk tes kelompok berbda dari tes
individualdalam menyusun item dan kebanyakan menggunakan item pilihan ganda.
Pengukuran hasil belajar; Tes ini mengukur hasil belajar stelah
mengikuti prosespendidikan. Tes hasil belajar ini berbeda dengan tes bakat, tes
inteligensi, tes hasilbelajar pada umumnya merupakan evaluasi terminal untuk
menentukan kedudukanindividu setelah menyelesaikan suatu latihan atau
pendidikan tertentu.Penekanannya terutama pada apa yang dapat dilakukan
individu saat itu setelahmendapatkan pendidikan tertentu.
Tes hasil belajar individual; Pada umumnya tes hasil belajar adalah
tes kelompokyang bermaksud membandingkan kemajuan belajar antar individu
sebaya, namun disini hanya hasil belajar individual saja. Di Indonesia sering
menggunakanpengukuran acuan norma (PAN) dan pengukuran acuan kriteria (PAK).Di
Indonesia nampaknya diperlukan adanya standarisasi secara nasionaluntuk
prosedur identifikasi anak berbakat ini. Isu sentral dalam hal ini ialah
bagaimanamenemukan model yang dianggap paling efektif dari segi hasil (daya
ramal terhadapperformasi peserta didik kemudian) tetapi efisien dari segi
waktu, biaya dan tenaga. Hal ini disebabkan karena kondisi sarana pendidikan,
akses terhadap lembaga-lembagapemeriksaan psikologis, dan kemampuan guru yang
sangat beragam di Indonesia,sementara perhatian kepada anak-anak berbakat
merupakan persoalan pendidikansecara nasional.
F.
Layanan Uuntuk Anak Berbakat
1. Kurikulum
Selain masalah kriteria dan prosedur identifikasi, perhatian khusus
kepada anak berbakat melibatkan beberapa dimensi lain, seperti dikemukakan oleh
Dedi Supriadi (1992; 11) yaitu; “Perancangan kurikulum, penyediaan sarana
pembelajarannya, model perllakuannya, kerjasama dengan keluarga dan pihak luar,
serta model bimbingan dan konselingnya”.
Kurikulum berdiferensiasi bagi anak berbakat mengacu pada
penanjakan
kehidupan mental melalui berbagai program yang akan menumbuhkan
kreativitasnya serta mencakup berbagai pengalaman belajar intelektual pada
tingkat tinggi. Dilihat dari kebutuhan perkembangan anak berbakat, maka
kurikulum berdiferensiasi memperhatikan perbedaaan kualitatif individu berbakat
dari manusia lainnya.
Dalam kurikulum berdeferensiasi terjadi penggemukan materi, artinya
materi kurikulum diperluas atau diperdalam tanpa menjadi lebih banyak.Secara
kualitatif materi pelajaran berubah daalam penggemukan beberapa konsep esensial
dari kurikulum umum sesuai dengan tuntutan bakat, perilaku, keterampilan dan
pengetahuan serta sifat luar biasa anak berbakat.
Dengan demikian, kurikulum pendidikan seyogyanya bisa mengakomodasi
dimensi vertikal maupun horisontal pendidikan anak.Secara vertikal, anak-anak
berbakat harus dimungkinkan untuk menyelesaikannya pendidikannya lebih cepat.Secara
horisontal, disediakan program pengayaan (enrichment), dimana siswa berbakat
dimungkinkan untuk menerima materi tambahan, baik dengan tugas-tugas maupun
sumber-sumber belajar tambahan, baik dengan tugas-tugas maupun sumber-sumber
belajar tambahan.
2. Model Pembelajaran
Untuk layanan pendidikan terhadap anak berbakat ini ada beberapa
model yang dapat digunakan, yaitu; pengayaan, percepatan, dan segregasi. Hal
ini seperti yang dikemukakan oleh Philip E. Veron (1979; 142) sebagai berikut;
“Acceleration,segregation, and enrichment”. Sedangkan David G. Amstrong and Tom
V. Savage (19883; 327) mengemukakan dua model, yaitu; “Enrichment and
acceleration”. Penjelasan dari mode-model di atas adalah sebagai berikut :
Pengayaan (enrichment)
Dalam model enrichment ini anak mendapatkan pembelajaran tambahan
sebagai pengayaan.Pengayaan ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu
sebagaiberikut :
a) Secara vertikal; Cara ini untuk memperdalam
salah satu atau sekelompok mata pelajaran tertentu. Anak diberi kesempatan
untuk aktif memperdalam ilmuPengetahuan yang disenangi, sehingga menguasai
materi pelajaran secaraluas dan mendalam.
b) Secara horizontal;Anak diberi kesempatan untuk
memperluas pengetahuan dengan tambahanatau pengayaan yang berhubungan dengan pelajaran
yang sedang dipelajari.
Percepatan (acceleration)
Secara konvensional bagi anak yang memiliki kemampuan superior
dipromosikan untuk naik kelas lebih awal dari biasanya. Dalam percepatan ini
ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut :
a) Masuk sekolah lebih awal/sebelum waktunya
(early admission), misalnyasebelum usia 6 tahun, dengan catatan bahwa anak
sudah matang untukmasuk Sekolah Dasar. b) Loncat kelas
(grade skipping) atau skipping class, misalnya karenakemampuannya luar biasa
pada salah satu kelas, maka langsung dinaikkanke kelas yang lebih tinggi satu
tingkat (dari kelas satu langsung ke kelastiga). c)
Penambahan pelajaran dari tingkatan di atasnya, sehingga
dapatmenyelesaikan materi pelajaran lebih awal. d) Maju
berkelanjutan tanpa adanya tingkatan kelas. Dalam hal ini sekolahtidak mengenal
tingkatan, tetapi menggunakan sistem kredit. Ini berarti anakberbakat dapat
maju terus sesuai dengan kemampuannya tanpa menungguteman-teman yang lainnya.
Segregasi
Anak-anak berbakat dikelompokkan ke dalam satu kelompok yang
disebut “ability grouping” dan diberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman
belajar yang sesuai dengan potensinya. Mengenai sistem penyelenggaraan
pendidikan, selain yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa sistem dalam
pendidikan bagi anak berbajat, yaitu; (1) Sekolah khusus, (2) Kelas khusus, dan
(Terintegrasi dalam kelas regular atau normal dengan perlakukan khusus.
Model pertama dan ke dua nampaknyabanyak mengundang kritik, karena
cenderung eksklusif dan elit, sehingga bias menimbulkan kecemburuan sosial.
Kedua sistem ini hanya bisa dilakukan untuk bidang-bidang tertenu saja.
Model yang kini populer adalah sistem dimana anak-anak berbakat
diintegrasikan dalam kelas reguler atau normal.Cara ini mempunyai banyak
keuntungan bagi perkembangan psikologis dan sosial anak. Hal yang menyulitkan
adalah bagaimanakah perhatian diberikan secara berbeda melalui apa yang disebut
“pengajaran yang diindividualisasikan”, yaitu settingnya kelas tetapi perhatian
diberikan kepada individu anak. Konsekwensinya perlu kurikulum yang fleksibel,
yaitu kurikulum yang berdiferensiasi, yang bisa mengakomodasi anak-anak biasa
dan anak berbakat.
Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan anak berbakat menyangkut
bagaimana anak-anak diperlakukan di sekolah melalui sistem
pengelompokkan.Sistem pengelompokkan bermacam-macam, tetapi intinya ada dua,
yaitu pengelompokkan homogen dan heterogen.Dasar pengelompokkan bisa berupa
jenis kelamin, tingkat kemampuan belajar, atau minat-minat khusus pada mata
pelajaran tertentu.
Fahrle, Duffi dan Schulz (1985) dalam DediSupriadi (1992; 23)
mengemukakan bahwa program pendidikan untuk anak-anak berbakat harus memberikan
kepada anak-anak dua macam pengalaman yang bernilai sosial.Pertama mereka harus
memiliki kesempatan untuk bergaul secara luas dan wajar dengan teman-teman
sebayanya.Kedua program pendidikan untuk anak-anak berbakat harus menyediakan
peluang kepada peserta didik untuk secara intelektual tumbuh bersama
rekan-rekan sebayanya.
Sistem manapun yang dipilih, penyelenggara harus tetap berpegang
pada prinsip bahwa pendidikan itu tidak boleh mengorbankan fungsi sosialisasi
nilai-nilai budaya (toleransi, solidaritas, kerja sama) kepada anak. Program
pendidikan untuk anak-anak berbakat tidak identik dengan perlakuan yang
eksklusif dan elitis, melainkan semata-mata supaya untuk memberikan peluang
kepada anak didik untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Dalam layanan pendidikan bagi anak berbakat, khususnya pada jenjang
sekolah dasar di Indonesia saat ini adalah sistem yang terpadu, yakni anak-anak
berbakat masuk ke sekolah yang samaadian mereka diperlakukan dengan system
pengajaran yang dindividualisasikan, yakni sistem yang memberikan
perhatiansecara individual kepada setiap siswa dalam kelas biasa. Dengan
demikian yang diperlukan dalam layan pendidikan bagi anak berbakat khususnya
pada sekolah dasar, bukanlah sekolah, kelas, ataupun kurikulum khusus,
melainkan modifikasi kurikulum dan sarana pendukungnya agar sesuai dengan
kebutuhan anak-anak berbakat.
3. Model Penilaian
Pada bagian bagian identiffikasi telah dikemukakan tentang
penilaian anak berbakat, pada bagian ini akan dikemukakan alat dan aspek
penilaian. Proses penilaian pada anak berbakat sebetulnya tidak berbeda dari
penilaian pada umumnya, namun karena pada cakupan kurikulum berbeda, maka akan
berbeda dalam penerapan penilaian.
Penerapan penilaian mencakup ciri-ciri belajar yang berkenaan
dengan tingkat berfikir tinggi.Biasanya anak berbakat sering mampu menilai
hasil kinerjanya sendiri secara kritis. Selain itu setiap anak tersebut harus
memperoleh
umpan balik tentang hasil kinerjanya secara terbuka (Conny
Semiawan; 1994; 273). Biasanya penilaian yang menunjuk pada suatu asesmen
dilakukan oleh guru yang bukan saja mengenal muridnya, melainkan juga melatih,
mendidik dan mengamatinya sehari-hari. Asesmen ini adalah langkah dalam proses
penyerahan dan penempatan tertentu dan merupakan rangkaian upaya perolehan
informasi dan bukan semata-mata hasil proses tersebut.
Tujuan pengukuran pada dasarnya berbeda-beda, bila
hendakmembandingkan anak tertentu, maka gunakan pengukuran acuan norma dengan :
1. Membandingkan anak berbakat dengan seluruh
populasi.
2. Membandingkan anak berbakat dengan teman
sebaya.
3. Membandingkan anak berbakat dengan populasi
anak berbakat lagi.
4. Membandingkan anak berbakat dengan dirinya
sendiri.
Sedangkan proses dan produk belajar yang mengacu pada ketuntasan
belajar menggunakan instrumen dan prosedur yang merupakan :
1. Pengejawantahan dari kekhususan layanan
pendidikan anak berbakat.
2. Hasil umpan balik untuk keperluan tertentu.
3. Pemantulan tingkat kemantapan penguasaan suatu
materi sesuai sifat,keterampilan, kemampuan maupun kecepatan belajar seseorang.
4. Guru Anak Berbakat
Untuk menangani anak berbakat di Sekolah Dasar, tentunya
membutuhkan guru-guru yang memiliki kemampuan yang khusus. Dalam hal ini David
G. Armstrong And Tom V. Savage (1983; 334) mengutip pendapat James O. Schnur
(1980) sebagai berikut; “most descriptions of capable teachers of the gifted
and talnted”. Deskripsi kemampuan guru yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Memiliki kematangan dan keamanan.
2. Memiliki kreativitas dan fleksibilitas.
3. Memiliki kemampuan mengindividualisasikan
materi pelajaran.
4. Memiliki kedalaman pemahaman terhadap
pengajaran.
G.
Problematika Anak Berbakat
Keberbakatan menimbulkan permasalahan bagi penyandangnya apabila
mereka tidak memperoleh dukungan dan bantuan yang diperlukannya.Permasalahan
itu terutama timbul pada masa remaja. Buescher dan Higham (1990) mengemukakan
bahwa anak anak berbakat antara usia 11 dan 15 tahun sering menghadapi berbagai
masalah sebagai akibat dari keberbakatannya yang meliputi: perfeksionisme,
competitiveness, penilaian yang tidak realistis terhadap keberbakatannya,
penolakan dari teman sebaya, kebingungan akibat “pesan-pesan” yang beraneka
ragam sehubungan dengan bakatnya, dan tekanan dari orang tua serta masyarakat
agar berprestasi, di samping permasalahan yang ditimbulkan oleh terlalu tingginya
ekspektasi terhadap diri mereka.
Beberapa anak berbakat mengalami kesulitan dalam mendapatkan dan
memilih teman, memilih jurusan di sekolah atau perguruan tinggi, dan akhirnya
juga mengalami kesulitan dalam memilih karir.Masalah-masalah perkembangan yang
dialami oleh semua remaja juga dialami oleh remaja berbakat tetapi masalahnya
dibuat lebih kompleks oleh kebutuhan khusus dan karakteristik anak
berbakat.Kemudian kesulitan utama remaja berbakat Salah satu nya juga
disebabkan karena lingkungan belajar yang kurang menantang kepada mereka
untukmewujudkan kemampuannya secara optimal.
Permasalahan tersebut sering di perdebatkan karena Di sisi lain
memang masih adanya suara-suara sumbang yang menyangsikan keberhasilan
pendidikan khusus bagi siswa cerdas dan berbakat. Kubu ini berpendapat bahwa
penyelenggaraan pendidikan khusus bagi siswa cerdas dan berbakat lebih banyak
mudaratnya ketimbang manfaatnya dan tidak mencerminkan alam demokratis,
membentuk kelompok elit dan merupakan pemborosan.Beberapa alasan mengapa anak
berbakat perlu diberikan pendidikan khusus (diutip dari soreson,1988).
1. Keberbakatan muncul
dari proses interaktif, dimana tantangan dari rangsangan lingkungan membawa
keluar kapasitas yang dimiliki diri sendiri dan memprosesnya.
2. System politik dan
sosial kita bersandar pada prinif demokratis, jika sekolah mnediakan kesempatan
pendidikan yang sama untuk semua anak, ini berarti mengingkari adanya hak
perkembangan pendidikan yang cocok bagi anak berbakat.
3. Anak berbakat dapat
segera menemukan gagasan dan minat mereka yang berbeda dari anak sebayanya.
4. Jika pendidik
mempertimbangkan kebutuhan anak berbakat dan mendesain program pendidikan yang
memenuhi kebutuhanya,maka siswa akan menunjukkan prestasi dan perkembangan yang
luar biasa, sesuai dengan rasa kompetisi dan kesehaan mentalnya.
5. Kontribusi anak
berbakat pada masyarakat berada pada seluruh aspek kehidupan, dan proporsional
dalam keseluruhan. Masyarakat akan banyak membutuhkan siswa seperti ini
Masalah anak berbakat lebih rawan dari pada anak biasa.Anak-anak
dengan bakat luar biasa ternyata besar kemungkinannya untuk gagal maupun sukses
pada masa dewasa.Kebanyakan dari mereka tidak sukses pada masa dewasa karena
perlakuan yang mereka alami dan dalam beberapa kasus direngut dari masa
kanak-kanak.Dalam beberapa kejadian, orang tua menekan anaknya begitu keras
atau malah dipisahkan dari kelompok sebayanya, sehingga akhirnya hanya
mempunyai sedikit teman .karena anak berbakat lebih rawan dari pada anak biasa,
anak berbakat harus lebihdi berikan perhatian khusus.
1. Definisi
Anak Berbakat Berprestasi Kurang
Dalam pengertian yang lebih luas, individu yang berprestasi kurang (underachiever)
adalah individu yang tak bermotivasi. Mereka secara konsisten tidak menunjukkan
usaha, bahkan mereka cenderung bekerja jauh di bawah potensinya. Dengan
demikian, masalahnya bukanlah terletak pada kemampuan, melainkan terletak pada
sikapnya. Mereka cenderung menghabiskan
kesempatannya, sehingga melupakan masa depannya. Mereka biasanya
menolak, melalui tindakannya, bahwa apa yang mereka lakukan sekarang memiliki
dampak bagi masa depannya. Mereka tidak dapat melihat atau mengijinkan atau
menerima bahwa ketidakmampuannya menyelesaikan tugas dan mengabaikan tanggung
jawabnya akan dapat menimbulkan kegagalan di masa depannya.
Pada dasarnya anak berbakat berprestasi kurang memiliki kemampuan intelektual
untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, mereka
tidak memiliki kemampuan menuntaskan pekerjaan, tidak berfungsi secara mandiri,
dan tidak berproduksi dalam waktu yang telah ditetapkan.
Untuk memahami secara komprehensif tentang anak berprestasi kurang,
maka berikut ini akan dikemukakan sejumlah definisi sebagai berikut:
Bricklin & Bricklin (1967) Siswa yang penampilannya di sekolah
lebih lemah daripada yang diharapkan berdasarkan tingkat inteligensinya.
Fine (1967) Siswa yang rentangan kemampuan intelektualnya berada pada
rentangan sepertiga bagian atas dari kemamuan intelektual, tetapi penampilannya
secara dramatik berada di bawah tingkatannya.
Finney & Van Dalel (1966) Siswa yang skor DAT (Differential
Aptitude Tests) berada pada 25% bagian atas bidang verbal dan numerikal dan Indeks
Prestasi Komulatif (IPK)-nya berada di bawah rata-rata dari semua siswa yang
menjadi peserta DAT.
Gowan (1957) Siswa yang berpenampilan 1 simpangan baku atau lebih bawahnya
dari tingkat kemampuannya.
Newman (1974) Siswa yang berprestasi secara signifikan berada di
bawah tingkat yang diprediksikan oleh IQ-nya, yang ditunjukkan dengan IPK C
atau di bawah potensinya secara signifikan)
Pringle (1970) Siswa yang ber-IQ 120 atau di atasnya yang memiliki kesulitan
pendidikan dan perilaku.
Shaw & McCuen (1980) Siswa yang potensinya berada pada bagian
dari 25% di atas berdasarkan Tes Kemampuan Umum (IQ di atas 110) yang memperoleh
IPK di bawah rata-rata.
Thorndike (1963) Siswa yang berprestasi kurang diukur dalam
kaitannya dengan beberapa standar prestasi yang diharapkan atau diprediksikan.
Whitmore (1980) Siswa yang mendemonstrasikan kemampuannya yang
unggul untuk prestasi akademik, tetapi tidak dapat tampil secara memuaskan
berdasarkan hasil tugas akademik dan tes prestasinya untuk kesehariannya.
Zive (1977) Siswa dengan IQ tinggi yang mempunyai prestasi rendah
di sekolahnya.
Para peneliti (Raph, Goldberg, and Passow, 1966) dan beberapa
penulis mutakhir (Davis and Rimm, 1989) telah mendefinisikan berprestasi kurang
(underachievement) berkenaan dengan suatu kesenjangan antara suatu performansi
sekolah dan beberapa kemampuan yang sering diindikasikan dengan suatu indeks
IQ.
Definisi ini, walau nampak jelas dan singkat, memberikan sedikit
wawasan bagi orangtua dan guru yang bermaksud untuk menyelesaikan masalah ini
dengan siswa secara individual. Cara yang lebih baik untuk mendefinisikan berprestasi
kurang (underachievement) adalah mempertimbangkan berbagai komponen.
Pertama dan awal kalinya, bahwa berprestasi kurang (underachievement)
adalah suatu perilaku yang dapat berubah sepanjang waktu. Sering kali
berprestasi kurang (underachievement) dilihat sebagai suatu masalah sikap atau
kebiasaan bekerja. Namun, perlu diketahui bahwa kebiasaan atau sikap dapat
dimodifikasi secara langsung oleh prilaku.
Kedua, berprestasi kurang (underachievement) adalah sesuatu yang berkenaan
dengan isi dan situasi yang spesifik. Anak-anak berbakat yang tidak berhasil di
sekolah sering kali sukses dalam berbagai kegiatan di luar, seperti: olahraga,
kegiatan sosial, dan bekerja setelah selesai sekolah. Bahkan seorang anak yang
tampil secara kurang memuaskan untuk hampir pada semua mata pelajaran, mungkin
menampilkan suatu bakat atau minat, paling tidak satu mata pelajaran. Dengan
demikian, memberi nama seorang anak sebagai berprestasi kurang
(underachievement) dapat juga mengurangi penghargaan terhadap setiap dampak
positif atau perilaku yang ditampilkannya. Adalah lebih baik untuk memberikan
label terhadap perilaku daripada anak (misalnya, anak itu lemah di matematika
dan bahasa cenderung lebih baik daripada menyebut anak sebagai berprestasi
kurang (underachievement).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat didefinisikan bahwa Anak Berbakat
Berprestasi Kurang (AB2K) adalah anak berbakat yang menampilkan prestasi
akademiknya lebih rendah secara berarti daripada potensi akademiknya, sehingga
membtuhkan untuk bantuan dan fasilitasi yang sesuai untuk dapat mengoptimalkan
perkembangan potensinya.
2.
Karakteristik
Anak Berbakat Berprestasi Kurang
Menyadari akan kompklesitas keberadaan Anak Berbakat Berprestasi
Kurang, maka setidak-tidaknya karakteristik anak berbakat akademik di antaranya
sebagai berikut:
1.
Memiliki
IQ yang sangat tinggi, 2. Memiliki kebiasaan kerja yang jelek, 3. Ketidakmampuan
berkonsentrasi, 4. Kurang usaha dalam menjalankan tugas., 5. Minat yang kuat
terhadap suatu bidang tertentu, sehingga melupakan akademiknya. 6.
Pekerjaaannya sering tidak selesai. 7. Harga dirinya rendah 8. Menampilkan
frustasi emosional 9. Bersikap negatif terhadap diri sendiri dan orang lain.
10. Tiadanya perhatian terhadap tugas yang sedang dihadapi.
Ada kecenderungan dua pola perilaku dasar, yaitu agresif dan
menarik diri. Gambaran pola perilaku agresif, mencakup:
1) Penolakan yang terus menerus yang ditunjukkan dengan complain. 2)
Mencari perhatian. 3) Mengganggu orang lain. 4) Penolakan yang terus menerus
terhadap tugas yang ditetapkan. 5) Ketiadaan arahan diri dalam pembuatan
keputusan. 6) Pemisahan yang terus menerus dari teman sebaya.
Gambaran pola perilaku menarik diri, mencakup:
1). Kurangnya komunikasi 2) Dikuasai oleh dunia fantasi 3) Bekerja
sendiri 4) Sebentar dalam kelas ketika dalam penyelesaian pekerjaan. 5) Sedikit
upaya dibuat untuk menjustifai perilaku.
Karakteristik dan pola-pola perilaku AB2K memang sering mewarnai
perilakunya. Perilaku-perilaku tersebut seringkali menjadi
indikator penting
bagi orang lain untuk memberikan label, tanpa memperdulikan potensi
apa
yang ada di baliknya. Dengan demikian sangatlah wajar bahwa banyak
terjadi
AB2K yang tidak hanya merugikan anak-anaknya sendiri, melainkan
juga
merugikan keluarga dan masyarakat.
3.
Penyebab
Anak Berbakat Berprestasi Kurang
Whitmore (1980) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor sekolah yang
menyebabkan gejala berprestasi kurang, di antaranya sebagai berikut:
1. Kurangnya respek yang tulus dari guru 2. Suatu iklim sosial yang
kompetitif. 3. Tidak adanya fleksibilitas dan adanya kekakuan. 4. Penekanannya
pada evaluasi eksternal. 5. Adanya sindrom kegagalan dan kondisi kritis yang
mendominasi kecuali bagi orang-orang yang berprestasi. 6. Kontrol orang
dewasa/guru secara konstan di kelas. 7. Kurikulum belajar yang tak apresiatif Ford
and Thomas (1997) berdasarkan studinya mengemukakan secara lebih komprehensif
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan berprestasi kurang, mencakup faktor
sosio-psikologis, faktor yang terkait dengan keluarga, dan faktor yang terkait
dengan sekolah.
1. Faktor sosiopsikologis
Self-esteem yang rendah, kinerja akademik yang jelek, dan
selfconcept sosial berkontribusi secara signifikan terhadap prestasi siswa yang
rendah. Ford, Harris, and Schuerger (1993) menyatakan bahwa identitas rasial
harus juga dieksplorasi pada siswa berbakat minoritas. Bagaimana mereka
merasakan akan nenek moyangnya dari sisi kesukuannya. Siswa berbakat minoritas
yang tidak memiliki identitas rasial positif memungkinkan dapat menimbulkan
tekanan yang negatif dari kelompok sebayanya.
Di samping faktor-faktor tersebut, perefkesinisme, kondisi
emosional, tekanan untuk bertindak konformis, rasa tak berdaya, kurangnya kemandirian,
perlawanan yang serius terhadap kekuasaan sekolah,
2. Faktor yang terkait dengan keluarga
Beberapa studi telah mengeksplorasi pengaruh variabel keluarga terhadap
prestasi siswa berbakat minoritas. Selain itu Clark (1983) melalui studinya
terhadap siswa berkulit hitam yang berstatus sosial ekonomi rendah yang anak
mengalami gejala berprestasi kurang menunjukkan bahwa
orangtuanya cenderung:
Ø Kurang optimistik dan perasaan yang terekspresikan tentang ketidakberdayaan
dan tak berpengharapan.
Ø Kurang assertif dan terlibat dalam pendidikan anak-anaknya.
Ø Menetapkan harapan yang tak realistik bagi anak-anaknya.
Ø Kurang percaya diri berkenaan dengan keterampilan pengasuhan.
3. Faktor yang terkait dengan sekolah
Sejumlah faktor di sekolah yang berpengaruh terhadap prestasi siswa
berbakat berprestasi kurang, di antaranya:
v _ Hubungan antara guru-siswa kurang positif,
v _ Memiliki waktu yang sedikit untuk memahami bahan.
v _ Iklim sekolah yang kurang supportif.
v _ Tidak termotivasi dan tak berminat untuk aktif di sekolah.
v _ Kurangnya perhatian terhadap pendidikan multikultural di kelas.
v _ Guru cenderung menunjukkan harapan yang lebih rendah terhadap
siswa minoritas dan berpenghasilan rendah.
v _ Sekolah tidak memberikan program yang sesuai dengan kebutuhan
anak berprestasi kurang.
Jika diperhatikan realitas yang ada di lapangan bahwa ada faktor
lain yang mempengaruhi munculnya AB2K, yaitu faktor fisikal. Dalam kaitannya dengan
hal ini, maka kelengkapan organ tubuh dan tingkat kesempurnaan fisik, serta
kualitas kondisi kesehatan Anak Berbakat Akademik mempengaruhi kenierja
akademik.
Penanganan Anak Berbakat Berprestasi Kurang
1. Intervensi AB2K
Reis, Sally M. & McCoach, D. Betsy (2000) menyatakan bahwa
penanganan AB2K pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua intervensi yaitu
intervensi konseling dan edukatif.
Intervensi konseling berkonsentrasi untuk mengubah dinamika
personal dan keluarga yang membantu AB2K. Intervensi konseling dapat meliputi konseling
individual, kelompok dan keluarga. Beberapa upaya dini untuk memperbaiki
prestasi akademik AB2K melalui perlakuan konseling tidak menunjukkan
keberhasilan (Baymur & Patterson, 1965; Broedel, Ohlsen, Profit, &
Southard, 1965). Hal ini dapat dipahami, karena dalam sebagian situasi konseling,
tujuan konselor tidaklah memaksa AB2K menjadi seorang AB2K yang sukses, tetapi
lebih diorientasikan untuk membantu mereka membuat keputusan apakah sukses
merupakan suatau tujuan yang dikehendaki, jika ya maka perlu membantu perubahan
kebiasaan dan kognisinya. Weiner (1992) menetapkan bahwa ada empat intervensi
yang berbeda terhadap empat kelompok AB2K yang berbeda; yaitu (1) menguatkan
sistem reward yang kurang, (2) menghilangkan handicap kognitif dan emosional,
(3) mengatasi kesenjangan pendidikan, dan (4) memodifikasi kecenderungan pasif
dan agresif. Konselor dan terapis dapat membantu AB2K menguatkan sistem reward yang
kurang, memodifikasi kecenderungan perilaku pasif dan agresif, dan menghilangkan
gangguan emosional; pendidik dapat membantu AB2K mengatasi kesenjangan
pendidikan dan menghilangkan atau mengkompensasi gangguan kognitif.
AB2K yang tak termotivasi mungkin melihat tidak ada alasan untuk menjadi
siswa yang lebih baik. Ketika bekerja dengan AB2K bertipe ini, seorang konselor
seharusnya menemukan cara-cara untuk mengimplementasikan system reward yang
akan mendorong usaha skolastik siswa dan mengukuhkan kesuksesan akademik. Orang
tua dari AB2K bertipe ini mungkin memperoleh
manfaat dari strategi terapetik yang mendorongnya untuk berbicara
secara positif tentang pendidikan, menunjukkan suatu minat terhadap kegiatan belajar
anaknya, dan mengharagai pencapaian anaknya.
Walaupun AB2K bertipe pasif-agresif lebih memungkinkan mengindikasikan
gangguan psikologis, tipe ini nampak cukup responsif terhadap psikoterapi
(Weiner, 1992). Konseling terhadap tipe ini sangat efektif ketika siswa mencari
layanan konseling atau setidak-tidaknya berpartisipasi di dalam proses
konseling. Karena perilaku pasif-agresif anak-anak ini selalu muncul yang
diwujudkan dengan melawan keluarga, maka intervensi konseling keluarga mungkin
dapat membantu mengatasi AB2K tipe ini. Satu strategi konseling terhadap AB2K
yang pasif-agresif, melibatkan bantuan orang dewasa untuk mengenal kemampuan
dan minatnya, mengklarifikasi sistem nilai personalnya dan tujuan yang
dikehendaki, serta melakukan penelusuran studi untuk melayani tujuannya sendiri
daripada memenuhi kebutuhan orang lain.
Walaupun telah terbukti banyak keberhasilan untuk intervensi
konseling dalam penangan AB2K, tetapi masih diakui bahwa ada sejumlah
keterbatasan, karena semua layanan konseling dapat berhasil secara memuaskan.
Interversi edukatif bagi AB2K yang sangat terkenal dapat diwujudkan
dengan sistem kelas khusus yang part time dan full time bagi AB2K (e.g., Butler-Por,
1987; Fehrenbach, 1993; Supplee, 1990; Whitmore, 1980). Dalam kelas-kelas ini,
guru-guru berjuang untuk menciptakan suatu lingkungan yang nyaman untuk pencapaian
prestasi siswa dengan merubah organisasi kelas tradisional. Biasanya, rasio
siswa:guru yang lebih kecil, guru dapat menciptakan tipe-tipe aktivitas
mengajar dan belajar yang kurang konvensional, guru-guru memberikan kepada
siswa beberapa pilihan dan kebebasan di dalam melayih pengendaliannya terhadap
iklimnya, serta siswa didorong untuk menggunakan strategi belajar yang berbeda.
Studi Emerick mengindikasikan bahwa suatu tipe intervensi yang
efektif adalah didasarkan pada kekuatan dan minat siswa (Renzulli, 1977;
Renzulli & Reis, 1985, 1997). Dalam studinya yang mutaakhir, peneliti
menggunakan selfselected Type III dari Proyek Pengayaan sebagai suatu
intervensi sistematik untuk siswa AB2K. Pendekatan secara spesifik mentargetkan
kekuaran dan
minat siswa sehingga membantu mengatasi gejala berprestasi kurang
bidang akademik. (Baum, Renzulli, & Hebert, 1995b). Dalam msuatu studi
kualitatif teknik intervensi ini, lima gambaran utama dari proses pengayaan
Tipe III yang berkontribusi terjadap keberhasilan intervensi. Faktor-faktor ini
di antaranya sebagai berikut: hubungan dengan guru, penggunaan strategi
self-regulation, kesempatan untuk meneliti topik-topik yang terkait dengan
AB2K, kesempatan untuk bekerja berdasarkan bidang yang diminiati dalam suatu
gaya belajar yang disukai, dan adanya waktu berinteraksi dengan kelompok
sebaya.
2. Strategi dalam Mengatasi AB2K
a. Strategi Sekolah
Whitmore (1980) menjelaskan ada tiga tipe strategi yang dipandang efektif
untuk mengatasi AB2K, yaitu di antaranya: _ Strategi supportif. Teknik dan
desain kelas yang memungkinkan siswa merasa menjadi bagian dari “keluarga”,
bukan pabrik, yang mencakup metode, yaitu: mengendalikan pertemuan kelas untuk
mendiskusikan kepedulian siswa; merancang kegiatan kurikulum berdasarkan kebutuhan
dan minat anak; dan memungkinkan siswa untuk menghentikan tugas-tugas tentang
berbagai mata pelajaran yang telah mampu mereka tunjukkan
kompetensinya. • Strategi intrinsik. Strategi ini mengakomodasi ide
bahwa konsep diri siswa sebagai pembelajar sangat terkait dengan keinginannya
yang kuat untuk berprestasi secara akademik. Dengan demikian, sebuah kelas yang
mengundang sikap positif adalah memungkinkan kita untuk mendorong mereka
berprestasi. Dalam kelas tipe ini, guru mendorong untuk berusaha, bukan hanya
sekedar sukses; mereka menghargai masukan siswa dalam membuat aturan kelas dan
wujud tanggung jawabnya; serta mereka memungkinkan siswa untuk mengevaluasi
karyanya sendiri sebelum menerima suatu penilaian dari guru. • Strategi
remedial. Guru yang efektif dalam mengatasi perilaku underachiever mengenal
bahwa siswa adalah tidak sempurna – bahwa setiap anak memiliki kekuatan dan
kelemahan baik berkanaan dengan kebutuhan sosial, emosional, maupun
intelektual. Dengan strategi remedial, siswa diberikan kesempatan untuk
mempercepat dalam bidang-bidang yang menjadi kekuatannya dan minatnya,
sementara itu kesempatan diberikan untuk bidang-bidang spesifik yang dirasakan
ada kesulitan belajar. Remediasi ini dilakukan dalam suatu lingkungan yang
aman, suatu lingkungan yang kesalahan-kesalahan terjadi dianggap menjadi bagian
dari belajar setiap orang, termasuk guru. Selain daripada itu, Ford dan Thomas
(1997) juga memberikan kontribusi bagi penangan anak berbakat berprestasi
kurang, di antaranya:
1. Penyesuaian kurikulum untuk promosi kesuksesan dan prestasi. 2.
Pengajaran remedial untu memperbaiki keterampilan akademik, 3. Memperbaiki
keterampilan meniru dokumen. 4. Memperbaiki keterampilan studi, 5. Memperbaiki
self-management. 6. Meningkatkan self esteem.
b. Strategi Keluarga
Ada beberapa strategi untuk mencegah dan mengatasi anak
underachiever, yaitu:
_ Strategi supportif. Anak-anak berbakat hidup dalam iklim yang
saling menghargai, tidak berkuasa, fleksibel, dan bertanya. Mereka memerlukan aturan
dan pedoman yang reasonable, dukungan dan dorongan yang kuat, umpan balik
positif yang konsisten, dan bantuan untuk menerima beberapa keterbatasan, baik
berkenaan dengan mereka sendiri atau orang lain (Rimm,
1986).
_ Strategi instrinsik. Apakah anak-anak berbakat menggunakan kemampuannnya
yang luar biasa dengan cara-cara yang konstruktif sebagian tergantung pada
kepercayaan diri dan konsep dirinya. Menurut Halsted (1988), “anak berbakat
intelektual tidak akan bahagia dan merasa sempurna sampai dia menggunakan
kemampuannya sampai pada tingkat yang optimal.
Karena itu orangtua dan guru melihat dan memahami perkembangan intelektual,
sehingga dapat memberikan bantuan yang sesuai. Memberikan suatu lingkungan
pendidikan dini dan sesuai dapat menstimulasi suatu rasa cinta sejak dini
terhadap belajar. Sebaliknya anak muda yang memiliki rasa keingintahuan yang
tinggi dengan mudahnya akan menjadi redam, jika lingkungan pendidikan tidak
menstimulasi; penempatan kelas dan pendekatan mengajar yang tidak tepat; anak
mengalami guru yang tidak efektif; atau tugas yang secara konsisten terlalu
sulit atau mudah. _ Praise versus encouragement. Penekanan yang berlebahan
terhadap prestasi atau hasil belajar daripada usaha, keterlibatan, dan dorongan
untuk belajar tentang topik yang menjadi minatnya adalah merupakan suatu perangkap
orangtua secara umum. Garis antara tekanan (pressure) dan dorongan
(encouragement) adalah halus, tetapi penting. Tekanan untuk tampil yang
menekankan hasil seperti memenangkan piala dan mendapatkan A. Untuk anak yang
berhasil memenuhi kemauan orangtua seperti itu anak mendapatkan penghargaan
yang sangat tinggi. Dorongan (encouragement) menekankan pada usaha, proses yang
digunakan untuk mencapai, langkah yang diambil untuk mencapai tujuan, dan
perbaikan. Langkah ini meninggalkan penilaian kepada anak. AB2K diduga
merupakan individu yang discouraged yang memerlukan dorongan, tetapi cenderung
menolak penghargaan yang artifisial atau tidak tulus. (Kaufmann, 1987). _
Strategi remedial. Dinkmeyer and Losoncy (1980) memperhatikan orangtua menolak
discouraging anak-anaknya dengan dominasi, inensitivikasi, mendiamkan, atau
intimidasi. Komentar yang discouraging, misalnya: Jika kamu anak yang berbakat,
mengapa kamu dapat D untuk bidang studi .......?” atau “Saya telah memberikan
kamu sesuatu, mengapa kamu demikian .......? tidak akan pernah efektif.
Kompetisi yang berlangsung secara konstan mungkin mengarahkan ke
underachievement, terutama ketika seorang merasa apakah seperti seorang
pemenang atau yang kalah. Kursus tentang keterampilan belajar, kursus tentang pengelolaan
waktu, atau tutorial khusus mungkin tidak akan efektif jika siswa itu yang
sudah lama mengalami gejala berprestasi kurang. Sebaliknya tutorial khusus
mungkin sangat membantu bagi AB2K yang mengalami kesulitan akademik dalam waktu
pendek. Umumnya, tutorial khusus bagi seorang AB2K sangat membantu ketika
seorang orang tutor dipilih secara
berhati-hati untuk menyesuaikan dengan gaya belajar siswa. Kursus keterampilan
belajar yang bersifat luas atau tutor-tutor yang tidak memahami AB2K cenderung
lebih bersifat kurang baik daripada baiknya.
b. Strtaegi Kolaboratif
Pada kenyataannya bahwa terjadinya AB2K tidak bisa dilepaskan dari factor
keluarga dan sekolah secara terkait, sehingga upaya menanganinya perlu adanya
kolaborasi antara keduanya. Rimm ( Colangalo and Davis, 1995) menemukan bahwa
penanganan sindrom Underachiever yang melibatkan kolaborasi antara sekolah dan
keluarga dalam implementasi melalui enam
langkah, yaitu :
1. Assessmen
2. Komunikasi
3. Mengubah Harapan
4. Identifikasi Model Peran
5. Koreksi kekurangan
6. Modifikasi pengukuhan.
BAB
III
KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
Seorang anak dikatakan anak luar biasa karena ia berbeda dengan anak-anak
lainnya. Perbedaan terletak pada adanya ciri-ciri yang khas yang menunjukkan pada
keunggulan dirinya. Namun, ‘keunggulan’ tersebut selain menjadi sebuah kekuatan
dalam dirinya sekaligus menjadi ‘kelemahan’. Yang dimaksud sebagai kelemahan di
sini adalah diabaikannya ia sebagai individu yang memiliki hak sama dalam
mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dirinya.
Keberbakatan (giftedness)dan keunggulan dalam kinerja mempersyaratkan
dimilikinya tiga cluster ciri-ciri yang saling terkait, yaitu: kemampuan umum
atau kecerdasan di atas rata-rata, kreativitas, dan pengikatan diri terhadap
tugas sebagai motivasi internal cukup tinggi. Oleh karena itu, untuk
menumbuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, ketiga karakteristik tersebut
perlu ditumbuhkembangkan dalam tiga lingkungan pendidikan, yakni keluarga,
sekolah, dan masyarakat.
Pada kenyataannya, beberapa Anak Berbakat Akademik yang
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, mampu menunjukkan prestasi yang tinggi
secara optimal ketika belajar berada dalam lingkungan akademik yang
terstruktur, tetapi ada cukup banyak di antara mereka yang berisko berprestasi
kurang, jika mereka tidak dapat membuat prioritas, tidak dapat menfokuskan
sejumlah kegiatan yang terpilih, dan tidak mampu membuat rencana jangka
panjang. Di sisi lain, ada sejumlah siswa
yang berprestasi kurang, tetapi mereka tidak merasa nyaman atau discouraged.
Mereka cenderung agak tidak senang ketika di SMP dan SMA (karena organisasi dan
struktur pendidikan yang kaku), tetapi mereka cenderung bahagia dan sukses
ketika belajar di suatu lingkungan pendidikan yang memiliki suatu organisasi
dan struktur yang berbeda. Dalam kondisi yang demikian mereka akan mampu
mengatasi persoalannya sendiri. AB2K memang muncul dari berbagai faktor yang
kompleks, namun apapun kondisinya kehadiran guru dan orangtua yang berarti
dalam menangani AB2K dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang
dimilikinya. Assessmen. Komunikasi Mengubah Harapan. Identifikasi Koreksi
Kekurangan. Modifikasi Di Keluarga Dan Sekolah. Conforming & Nonconforming.
Dependent. Conforming Dominant. Nonconforming Dominant
B.
SARAN
Orangtua sebaiknya merasa perlu menambah wawasan tentang tumbuh
kembang anak, hal ini mencakup tahap-tahap perkambangan anak, pola asuh
dan pola didik anak. Dengan mengetahui informasi tentang tahap perkembangan
anak, maka orangtua bisa secara dini mengenali hal-hak yang tidak biasa yang
ada pada diri anak.
Kemudian, dengan memahami konsep-konsep pola asuh dan pola didik
yang ilmiah, maka orangtua akan mampu menimimalisir kesalahan dalam menerapkan
nilai, sikap, dan perilaku dalam menghadapi anak, terutama ketika anak-anak
menunjukkan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dengan anak-anak seusianya.
Di samping orangtua, seorang pendidik atau guru dianjurkan juga
menambah pengetahuan tentang perkembangan anak, disamping menguasai substansi
mata pelajaran yang diajarkannya di dalam kelas, tentunya hal ini akan
memudahkan bagi guru dalam mengambil pendekatan sesuai dengan kepribadian si
anak.
Pemerintah sebagai payung utama pertumbuhan dan perkembangan warga
negaranya, semestinya menaruh perhatian besar terhadap penelitian-penelitian,
pengembangan-pengembangan terkait dengan pendidikan anak berbakat. Karena hal
ini terkait dengan kesuksesan generasi muda sebuah negara dalam menyongsong
masa depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Clark, B. (1988), Growing Up Gifted (3rd ed.). Columbus, OH:
Charles E.
Davis, G.A.,
and Rimm, S. B. (1998). Education of the Gifted and Talented (4th Ed.).
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Kitano, Margie
K. dan Kirby, Darrell F. (1986), Gifted Education: A Comprehensive View,
Boston: Little, Brown and Company.
Mangunsong, Frieda. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa.
Jakarta: LPSP3 UI
Merrill Colangalo, Nicholas, and Daives, Gary A. (1991), Handbook
of Gifetd Education, Boston: Allyn and Bacon
Munandar, Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat.
Jakarta: Rineka Cipta
Reis, Sally M. & McCoach, D. Betsy, The Underachievement of
Gifted What Do We Know and Where Do We Go? Students Gifted Child Quartly, 2000,
44 (3), 152-170
Rimm, Sulvia, (1995), Why Bright Kids Get Poor Grades and What You
Can Do About It, New York: Crown Publishers, Inc.