Jumat, 09 Mei 2014

makalah pgra

BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya anak berbakat berprestasi kurang (AB2K) adalah suatu istilah yang ambigius, karena di satu sisi dia adalah individu-individu yang memiliki potensi tinggi, namun di sisi lain mereka menunjukkan prestasi yang rendah. Anak berbakat berprestasi kurang (AB2K) dapat diidentifikasi pada semua level akademik, walaupun mereka sering kali baru teridentifikasi pada Sekolah Menengah. Berdasarkan informasi dari guru, anak berbakat berprestasi kurang (AB2K) sering menampakkan dirinya sebagai yang malas, tidak tertarik dalam belajar, bosan, rebellious, dan irksome.
Sebagaian besar guru sering kali mengatakan bahwa mereka padahakekatnya masih bisa berbuat lebih baik daripada apa yang dilakukan pada saat itu. Dengan kata lain bahwa sebagian besar anak berbakat akademik cenderung menunjukkan gejala berprestasi kurang, karena mereka jarang sekali mendapatkan tantangan yang lebih berarti untuk memenuhi tingkat potensi yang dimiliki.Menyadari akan kondisi tersebut, mungkin tidak ada situasi yang lebih mampu membuat frustasi bagi orangtua atau guru daripada hidup atau bekerja bersama dengan anak-anak yang tidak dapat tampil secara akademik sama baiknya dengan potensi yang dimilikinya. Anak-anak yang menunjukkan gejala-gejala yang demikian sering diberi sebutan sebagai anak berprestasi kurang.
Pada titik mana gejala berprestasi kurang berakhir dan mulai muncul? Bagaimana dengan anak berbakat yang gagal di bidang matematika sementara itu dia mampu berprestasi sangat tinggi di bidang bahasa? Apakah anak berbakat berprestasi kurang terjadi secara tiba-tiba, atau gejala berprestasi kurang lebih baik didefinisikan sebagai seperangkat penampilan yang lemah untuk waktu yang lama? Tentu fenomena berprestasi kurang adalah sebagai sesuatu yang komplek dan multifaced.
Menyadari akan kompleksnya persoalan berprestasi kurang pada anak berbakat, maka selanjutnya dikaji berbagai aspek secara lebih detil, demikian pula berbagai upaya yang dilakukan untuk penanganannya.
Pengembangan sumber daya manusia berkualitas yang mampu mengantar Indonesia ke posisi terkemuka, atau paling tidak sejajar dengan negara-negara lain pada hakikatnya menuntut komitmen akan dua hal, yaitu:
 Penemukenalan dan pengembangan bakat-bakat unggul dalam berbagai bidang.
Penumpukan dan pengembangan kreativitas -yang pada dasarnya dimiliki setiap orang- tapi perlu ditemukenali dan dirangsang sejak usia dini.
Seorang anak dikatakan anak luar biasa karena ia berbeda dengan anak-anak lainnya. Perbedaan terletak pada adanya ciri-ciri yang khas yang menunjukkan pada keunggulan dirinya. Namun, ‘keunggulan’ tersebut selain menjadi sebuah kekuatan dalam dirinya sekaligus menjadi ‘kelemahan’. Yang dimaksud sebagai kelemahan di sini adalah diabaikannya ia sebagai individu yang memiliki hak sama dalam mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dirinya.
Anak-anak berbakat memiliki potensi yang luar biasa, baik untuk menjadi pribadi yang positif ataupun yang negatif. Hal ini ditentukan oleh penanganan yang mereka pada masa tumbuh kembang, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat di mana dia tinggal.
Mereka adalah bibit yang siap tumbuh, sebagaimana tanaman yang merupakan bibit unggul tidak serta merta menjadi tumbuhan yang luar biasa, karena akan bergantung pada keadaan tanah di mana ia ditanam, bagaimana unsur haranya, mineralnya, bagaimana pemupukan yang ia terima, penyinaran mataharinya dan lain sebagainya.
Orangtua dan pendidik seyogyanya menyadari pentingnya pengenalan tanda-tanda anak berbakat, dengan demikian bisa menentukan pendekatan apa yang tepat dan bagaimana cara menerapkan pada pola didik anak yang bersangkutan.

B.     Rummusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan anak berbakat?
2.      Apa saja macam-macam keberbakatan anak?
3.      Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keberbakatan anak?
4.      Bagaimana karakteristik anak berbakat?
5.      Bagaimana upaya penanganan anak berbakat?
6.      Bagaimana layanan yang ditujukan untuk anak berbakat?
7.      Apa saja problematika anak berbakat?

C.    Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui pengertian anak berbakat, klasifikasi anak berbakat, dan sgala sesuatu yang berhubungan dengan keberbakatan anak.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    pengertian Anak Berbakat
Definisi menurut USOE (United States Office of Education), anak berbakat adalah anak yang dapat membuktikan kemampuan berprestasinya yang tinggi dalam bidang-bidang seperti intelektual, kreatif, artistik, kapasitas kepemimpinan atau akademik spesifik dan mereka yang membutuhkan pelayanan atau aktivitas yang tidak sama dengan yang disediakan di sekolah sehubungan dengan penemuan kemampuan-kemampuannya (Hawadi, 2002).
Keberbakatan (giftedness)dan keunggulan dalam kinerja mempersyaratkan dimilikinya tiga cluster ciri-ciri yang saling terkait, yaitu: kemampuan umum atau kecerdasan di atas rata-rata, kreativitas, dan pengikatan diri terhadap tugas sebagai motivasi internal cukup tinggi. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, ketiga karakteristik tersebut perlu ditumbuhkembangkan dalam tiga lingkungan pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keberbakatan merupakan interaksi antara kemampuan umum dan atau spesifik, tingkat tanggung jawab terhadap tugas yang tinggi, dan tingkat kreativitas yang tinggi (Renzulli dalam hawadi, 2002).
Sedangkan menurut Depdiknas (2003), anak berbakat adalah mereka yang oleh psikolog dan atau guru diidentifikasi sebagai peserta didik yang telah mencapai prestasi memuaskan dan memiliki kemampuan intelektual umum yang berfungsi pada taraf cerdas, kreativitas yang memadai, dan keterikatan pada tugas yang tergolong baik.

B.     Klasifikasi Anak Berbakat
Anak yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata dapat diklasifikasikanmenjadi tiga kelompok, seperti dikemukakan oleh Sutratinah Tirtonegoro (1984; 29) yaitu; Superior, Gifted dan Genius.Ketiga kelompok anak tersebut memiliki peringkat ketinggian intellegnsi yang berbeda.
1.    Genius
Genius ialah anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, sehingga dapat menciptakan sesuatu yang sangat tinggi nilainya. Intelligence Quotien-nya (IQ) berkisar antara 140 sampai 200.Anak genius memiliki sifat-sifat positif sebagai berikut; daya abstraksinya baik sekali, mempunyai banyak ide, sangat kritis, sangat kreatif, suka menganalisis, dan sebagainya. Di samping memiliki sifat-sifat positif juga memiliki sifat negatif, diantaranya; cenderung hanya mementingkan dirinya sendiri (egois), temperamennya tinggi sehingga cepat bereaksi (emosional), tidak mudah bergaul, senang menyendiri karena sibuk melakukan penelitian, dan tidak mudah menerima pendapat orang lain.
2. Gifted
Anak ini disebut juga gifted and talented adalah anak yang tingkatkecerdasannya (IQ) antara 125 sampai dengan 140. Di samping memiliki IQ tinggi, juga bakatnya yang sangat menonjol, seperti ; bakat seni musik, drama, dan ahli dalam memimpin masyarakat. Anak gifted diantaranya memiliki karakteristik; mempunyai perhatian terhadap sains, serba ingin tahu, imajinasinya kuat, senang membaca, dan senang akan koleksi.
3. Superior
Anak superior tingkat kecerdasannya berkisar antara 110 sampai dengan 125sehingga prestasi belajarnya cukup tinggi.Anak superior memiliki karakteristik sebagai berikut; dapat berbicara lebih dini, dapat membaca lebih awal, dapat mengerjakan pekerjaan sekolah dengan mudah dan dapat perhatian dari teman temannya. James H. Bryan and Tanis H. Bryan (1979; 302) mengemukakan bahwa karakteristik anak berbakat itu (gifted) meliputi; physical, personal, and social characteristics. Sedangkan David G. Amstrogn and Tom V. Savage (1983; 327) mengemukakan; “Gifted and talented students are individuals who arecharacteristized by a blaned of (1) high intelligence, (2) high task comitment, and (3) high creativity. Secara umum hampir semua pendapat itu sama, bahwa anak berbakat memiliki kemampuan yang tinggi jika dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya.
Hasil studi lain menemukan bahwa “Anak-anak berbakat memiliki karakteristik belajar yang berbeda dengan anak-anak normal. Mereka cenderung memiliki kelebihan menonjol dalam kosa kata dan menggunakannya secara luwes, memiliki informasi yang kaya, cepat dalam menguasai bahan pelajaran, cepat dalam memahami hubungan antar fakta, mudah memahami dalil-dalil dan formulaformula, tajam kemampuan analisisnya, membaca banyak bahan bacaan (gemar membaca), peka terhadap situasi yang terjadi di sekelilingnya, kritis dan memiliki rasa ingin yang sangat besar” (Renzuli, 1979, Fahrle dkk.; 1985, Galagher, 1985, Maker; 1982) dalam Dedi Supriadi (1992; 9).

C.    Factor Penyebab Keberbakatan Anak
Ada beberapa faktor penyebab keberbakatan anak, diantaranya: 
1.            Faktor Genetik dan Biologis Lainnya
Pendapat bahwa intelegensi dan kemampuan yang berkualitas adalah diturunkan kurang dapat diterima di masayarakat yang memandang bahwa semua orang itu sama. Penelitian dalam genetika perilaku menyatakan bahwa setiap jenis dalam perkembangan perilaku dipengaruhi secara signifikan melalui gen/keturunan.    
Namun demikian faktor biologis juga tidak dapat diingkari, faktor biologis yang belum bersifat genetik yang berpengaruh pada intelegensi adalah faktor gizi dan neurologik. Kekurangan nutrisi dan gangguan neurologik pada masa kecil dapat menyebabkan keterbelakangan mental. Studi dari Terman terhadap orang-orang yang memiliki IQ tinggi menunjukkan keunggulan fisik seperti: tinggi, berat, daya tarik dan kesehatan, dibandingkan mereka yang intelegensinya lebih rendah.
Penekanannya adalah, individu tidak mewarisi IQ atau bakat. Yang diwariskan adalah sekumpulan gen yang bersama dengan oengalaman-pengalaman akan menentukan kapasitas dari intelegensi dan kemampuan-kemampuan lainnya (Zigler & Ferber, dalam Hallahan & Kauffman, 1994).
2.      Faktor Lingkungan
            Stimulasi, kesempatan, harapan, tuntutan, dan imbalan akan berpengaruh pada proses belajar seorang anak. Penelitian tentang individu-individu berbakat yang sukses menunjukkan masa kecil mereka di dalam keluarga memiliki keadaan sebagai berikut:
a.       Adanya minat pribadi dari orang tua terhadap  bakat anak dan memberikan dorongan Orangtua sebagai panutan
b.      Ada dorongan dari orangtua untuk menjelajah
c.       Pengajaran bersifat informal dan terjadi dalam berbagai situasi, proses belajar awal lebih bersifat eksplorasi dan bermain
d.      Keluarga berinteraksi dengan tutor/mentor
e.       Ada perilaku-perilaku dan nilai yang diharapkan berkaitan dengan bakat anak dalam keluarga
f.       Orangtua menjadi pengamat latihan-latihan, memberi pengarahan bila diperlukan, memberikan pengukuran pada perilaku anak yang dilakuakn dengan terpuji dan memenuhi standard yang ditetapkan
g.      Orangtua mencarikan instruktur dan guru khusus bagi anak
h.      Orantua mendorong keikutsertaan anak dalam berbagai acara positif di mana kemampuan anak dipertunjukkan pada khalayak ramai
Anak-anak yang disadari memiliki potensi perlu dikembangkan, perlu memiliki keluarga yang penuh rangsangan, pengarahan, dorongan, dan imbalan-imbalan untuk kemampuan mereka.
Penelitian lain menunjukkan bahwa kelompok budaya atau etnik-etnik tertentu menghasilkan lebih banyak anak-anak berbakat walaupun tingkat sosial ekonominya berbeda. Hal ini dikaitkan dengan mobilitas sosial dan nilai yang tinggi pada prestasi di dalam bidang-bidang tertentu yang ada dalam kelompok budaya dan etnik tertentu yang menjadi kontribusi dalam keberbakatan.
Jadi lingkungan memeiliki pengaruh yang banyak terkait bagaimana genetik anak diekspresikan dalam kesehariannya. Faktor keturunan lebih menentukan rentang di mana seseorang akan berfungsi, dan faktor lingkungan menentukan apakah individu akan berfungsi pada pencapaian lebih rendah atau lebih tinggi dari rentang tersebut.

D.    Karakteristik Anak Berbakat
Biasanya anak yang kreatif  selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Mereka biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri, lebih berani mengambil resiko (tetapi dengan perhitungan) daripada anak-anak pada umumnya.
Artinya dalam melakukan sesuatu yang bagi mereka amat berarti, penting, dan disukai, tidak terlalu menghiraukan kritik atau ejekan orang lain. Merekapun tidak merasa takut untuk membuat kesalahan dan mengemukakan pendapat mereka walaupun mungkin tidak disetujui orang lain.
Orang yang inovatif cenderung menonjol, berbeda, membuat kejutan, atau menyimpang dari tradisi/kebiasaan setempat. Rasa percaya diri, keuletan, dan ketekunan membuat mereka tidak cepat putus asa dalam mencapai tujuan mereka. Thomas Alpha Edioson mengungkapkan bahwa “Genius is 1% inspiration and 99% perspiration”.
Treffinger mengatakan bahwa pribadi yang kreatif biasanya lebih terorganisasi dalam tindakan. Rencana inovatif serta produk orisinil mereka telah dipikirkan matang-matang lebih dahulu, dengan mempertimbangkan masalah yang mungkin timbul dan implikasinya.
Apabila dilihat dari kemampuan –kemampuan yang membedakan mereka dari anak-anak sebayanya, maka kita akan menemukan karakteristik – karakteritik berikut pada  anak-anak berbakat.
a.       Karakteristik kognitif
v  Kualitas luar biasa di  informasi
v  Ingatan yang kuat
v  Kebiasaan perubhan minat & keinginan kemampuan menghasilkan ide-ide dan solusi yang asli’
b.      Karakteristik bahasa
v  Kemampuan verbal
v  Perkembangan yang tinggi pada pengenalan bahasa dan penulisan bahasa.
v  Perkembangan yang baik pada perkembangan sensorik
v  Tidak kebal untuk keretakan kekurangan integrasi di antara pikiran dan badan.
c.       Karakteristik afektik
v  Pendekatan evaluasi terhadap diri sendiri dan lainya.
v  Gigih, tujuan perilaku tak langsung.
v  Kepekaan yang tak bias untuk harapan & perasaan orang lain.
v  Tingginya kesadaran diri, menyesuaikan dengan perbedaan perasaan.
v  Perkembangan awal  dalam focus of control dan kepuasan kedalam dan identitas emosional yang tidak biasa.
v  Harapan yang tinggi dan lainya, sering menuju tingkat frustasi dirinya, lainya dan situasinya.
v  Kemampuan tingkat perkembangan moral.
v  Kemajuan kognitif dan kapasitas afektif dan konseptualisasi dan pemecahan masalah sosial.

E.     Upaya Penangan Anak Berbakat
1.      Keluarga
            Berbagai penelitian pakar psikologis menemukan bahwa sikapo dan nilai orangtua berkaitan erat dengan kreativitas anak. Beberapa faktor dalam peran orangtua yang menentukan adalah sebagai berikut:
1.1.Kebebasan
Orangtua sebaiknya memberikan kebebasan pada anak, tidak otoriter, tidak selalu mau mengawasi anak, dan tidak terlalu membatasi kegiatan anak. Mereka juga tidak terlalu cemas mengenai anak mereka
1.2.Respek
Orangtua hendaknya menghormati anak-anak mereka sebagai individu, percaya akan kemampuan mereka, dan menghargai keunikan mereka. Dengan sikap seperti ini, anak-anak akan secara alamiah mengembangkan kepercayaan diri untuk berani melakukan sesuatu yang orisinal
1.3. Kedekatan emosional yang sedang
            Kreativitas anak akan terhambat dengan suasana emosional yang mencerminkan rasa permusuhan, penolakan, atau rasa terpisah. Tetapi keterikatan emosional yang berlebih juga tidak menunjang pengembangan kreativitas anak. Anak perlu merasa bahwa ia diterima dan disayangi tetapi seyogyanya tidak terlalu tergantung kepada orangtua.
1.4.Prestasi, bukan angka
            Orangtua harus menghargai prestasi anak, mendorong anak untuk berusaha sebaik-baiknya dan menghasilkan karya-karya yang baik. Tetapi tidak terlalu menekankan mereka untuk mencapai angka atau nilai tinggi, atau peringkat tertinggi
1.5. Orangtua aktif dan mandiri
            Orangtua adalah model bagi anak, orangtua yang kreatif merasa aman dan yakin tentang diri sendiri, tidak memperdulikan status sosial, dan tidak terlalu terpengaruh oleh tuntutan sosial.
1.6.Menghargai kreatifitas
            Anak membutuhkan apresiasi atas segala pencapaian mereka, hal itu akan membuat mereka merasa apa yang telah mereka kerjakan tidak sia-sia dan sangat berharga. Sehingga memacu mereka untuk terus berkarya.
2.      Sekolah
Anak berbakat membutuhkan guru yang tidak sekedar baik, tapi memahami bagaimana cara terbaik dan tepat untuk menangani anak berbakat. Mandell dan Fiscus (dikutip Sisk, 1987) melaporkan hasil penelitian bahwa anak berbakat dapat bereaksi dengan kemarahan, kebencian, atau kesebalan jika guru mereka. Ward menyebutkan bahwa anak berbakat memerlukan pendidikan yang berdifferensiasi, yaitu pendidikan yang sesuai dengan minat dan kemampuan intelektualnya. Melalui pengembangan kurikulum yang berdifferensiasi, maka keberbakatan akan muncul dengan sendirinya melalui prestasi dan karya-karya mereka.
3.      Identifikasi Anak Berbakat
Pengertian kontemporer tentang keberbakatan memang telah demikian berkembang dan kriterianya sudah lebih multidimensional daripada sekedar intelegensi (umum, atau “g faktor” menurut Spearman) seperti yang pernah digunakan oleh Terman.IQ hanya salah satu kriteria keberbakatan. Dengan perluasan kriteria ini, persoalan identifikasi anak-anak berbakat menjadi lebih rumit dan harus menggunakan beragam teknik dan alat ukur, Idealnya semua kriteria tersebut harus dideteksi dengan menggunakan teknik dan prosedur, karena menurut berbagai studi tidak semua dari faktor-faktor itu berkorelasi satu sama lain. Misalnya IQ dan kreativitas.
Keberbakatan itu bersifat multidimensional, kriterianya tidak hanya intelligensi, melainkan kreativitas, kepemimpinan, komitmen pada tugas, prestasi akademik, motivasi dan lain-lain. Renjuli dkk. (1979) dalam Dedi Supriadi (1992; 10). Mengembangkan skala yang disebut Scales for Rating Behavioral Characteristices of Superor Students (SRBCSS) yang mencakup sepuluh karakteristik; beilajar, motivasi,eativitas, kepemimpinan, artistik, musik. drama, komunikasi, komunikai eksprsif, dan perencanaan. Penjaringan terhadap keberbakatan intelektual dalam kelompok populasi tertentu pada umumnya bertolak dari perkiraan kurang lebih 15 % sampai 25 % populasi sampel yang secara kasar merupakan identfikasi permulaan dalam menghadapi seleksi yang lebih cermat.
Penjaringan keberbakatan bisa menggunakan nominasi gurutentang kemajuan sehari-hari siswa, namun bisa juga melalui penilaian beberapa mata pelajaran tertentu tergantung dari tujuan penjaringan. Penjaringan atau penyaringan dapat juga menggunakan tes psikologis yang didasarkan pada beberapa aspek tertentu, tetapi yang paling penting hsrus diketahui untuk keperluan apa tes dilakukan. Tujuan akanmemberikan dasar terhadap penilaian, kemampuan, sifat, sikap atau prilaku seseorang.
Kepada anak harus diberitahukan bahwa penilaian yang baik akanmenempatkan dia pada posisi yang menguntungkan dalam arti tidak akan menuntut dia melakukan pekerjaan atau kinerja yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Identifikasi ini biasanya berguna bagi peramalan tentang kinrja tertentu di dalam waktu yang akan datang.
Pola dan tahap identifkasi yang dilakukan di muka, yang terdiri dari penjaringan dan penyaringan sebagai identifikasi kasar yang kemudian diperhalus melalui suatu proses seleksi memiliki berbagai variasi, tergantung dari keperluan Dengan demikian kini klasifikasi bakat juga mencakup kreativitas, motivasi dan kepemimpinan.
Beberapa permasalahan dalam identifikasi diantaranya masih banyak pelanggaran terjadi dalam aplikasi prinsip-prinsip identifikasi. Beberapa penyalahgunaan prinsip identifikasi antara lain, adalah perbedaan antara “gifted dan talen..Dengan menyusun suatu hierarkhie pengertian dengan menunjuk kepada pengertian kemampuan umum intelektual yang diukur oleh tes intellegensi bagi pengertian keberbakatan, dan bakat khusus akademis serta kemampuan kepemimpinan dan bakat seni untuk pengetian talen.
Sistem identifikasi SEM, ciptaan Renzulli agak berbeda dengan yang lain, ia mengemukakan 6 langkah identifikasi, yaitu sebagai berikut :
Beranjak dari penjaringan berdasarkan skor tes, tetapi mereka yang belum terjaringtidak seluruhnya ditinggalkan, karena ingin menjangkau kurang lebih 15 % daripopulasi. Semua anak yang skornya di atas persentil ke 85 biasanya akan terjaring melalui tes inteligensi yang telah terstandardisasikan.
Untuk memberi peluang padakelompok yang lebih luas, kita membagi “pool” keberbakatan menjadi dua bagiandan semua siswa yang skornya di atas persentil ke 92 (menurut norma lokal) padaumumnya sudah otomatis termasuk “pool” tersebut, dan biasanya terdiri dari 50 %jumlah populasi sampel. Skor tes yang dimaksud biasanya suatu tes inteligensi atautes hasil belajar atau tes bakat tunggal, yang memberi peluang pada seseorang yangbaik dalam bidang tertentu, tetapi mungkin tidak baik dalam bidang yang lain, untukdapat dimasukkan dalam “pool” tersebut. Ciri utama keberbakatan, yaitukemampuan di atas rata-rata keterlekatan pada tugas dan kreativitas dapat dijaringmelalui aspek psikometrik, aspek perkembangan, aspek kinerja dan aspeksosiometrik dengan berbagai alat.
Langkah kedua merupakan nominasi guru yang bagaimanapun juga harus dihargaisama dengan hasil skor tes. Dalam nominasi ini digunakan skala penilaian (ratingscale) untuk memperoleh gambaran tentang profil kemampuan anak.
Langkah ketiga adalah cara alternatif lain, yang bisa merupakan nominasi temansebaya, nominasi orang tua atau nominasi diri, maupun tes kreativitas. Kalau padaskor tes yang tinggi nominasi itu secara otomatis bisa diterima, tidaklah demikianpada langkah ketiga yang harus melalui suatu panitia peneliti.
Langkah keempat adalah nominasi khusus yang merupakan review terakhir darimereka yang sebelumnya tak terlibat dalam nominasi-nominasi tersebut. Merekamemperoleh seluruh daftar nominasi hasil langkah kesatu sampai langkah ketigadan boleh menambah nominasi orang lain, bahkan juga boleh mengusulkan untukmembatalkan nominasi tertentu berdasarkan pengalaman tertentu dengan anaktertentu.
Langkah kelima adalah nominasi informasi tindakan, proses ini terjadi bila gurusetelah memperoleh penataran dalam pendidikan anak berbakat, dapat melakukaninteraksi yang dinamis, sehingga meningkatkan motivasi dan interes anak untuksuatu topik atau bidang tertentu di sekolah ataupun di luar sekolah.
Langkah keenam adalah penyaringan melalui tes dan menjadi cara yang populer,antara lain karena menghargai kriteria non tes. Tetapi lebih dari itu potensi-potensiyang terjaring dari seluruh populasi sekolah telah memberi peluang pada anak lainyang bukan karena kemampuan umumnya, melainkan mungkin karena sebab lainyang biasanya tidak terjaring oleh skor tes, untuk tetap diperhatikan dandimasukkan dalam “pool” anak berbakat sekolah tersebut. (Conny Semiawan; 117-122).
Alat yang dapat dipergunakan dalam melakukan identifikasi anak berbakatdiantaranya adalah :
Kemampuan intelektual umum; Galton dalam Conny Semiawan (1994; 124)“Pengukuran kemampuan intelektual umum diperoleh melalui pengukuran kekuatanotot, kecakapan gerak, sensitivitas terhadap rasa sakit, kecermatan dalampendengaran dan penglihatan, perbedaan dalam ingatan dan lain-lain yang semuadisebut “tes mental”.
 Tes inteligensi umum; Salah satu perkembangan yang amat penting dalampengmbangan pengukuran intelegensi adalah timbulnya skala Wechsler dalammengukur inteligensi orang dewasa dengan menggunakan norma tes bagiperhitungan IQ yang menyimpang.
Tes kelompok kontra tes individual; Tes kelompok lebih banyak digunakan dalamsistem pendidikan, pelayanan pegawai, industri dan militer. Tes kelompokdirancang untuk sekelompok tertentu, biasanya tes kelompok menyediakan lembar jawaban dan “kunci-kunci” tes. Bentuk tes kelompok berbda dari tes individualdalam menyusun item dan kebanyakan menggunakan item pilihan ganda.
Pengukuran hasil belajar; Tes ini mengukur hasil belajar stelah mengikuti prosespendidikan. Tes hasil belajar ini berbeda dengan tes bakat, tes inteligensi, tes hasilbelajar pada umumnya merupakan evaluasi terminal untuk menentukan kedudukanindividu setelah menyelesaikan suatu latihan atau pendidikan tertentu.Penekanannya terutama pada apa yang dapat dilakukan individu saat itu setelahmendapatkan pendidikan tertentu.
Tes hasil belajar individual; Pada umumnya tes hasil belajar adalah tes kelompokyang bermaksud membandingkan kemajuan belajar antar individu sebaya, namun disini hanya hasil belajar individual saja. Di Indonesia sering menggunakanpengukuran acuan norma (PAN) dan pengukuran acuan kriteria (PAK).Di Indonesia nampaknya diperlukan adanya standarisasi secara nasionaluntuk prosedur identifikasi anak berbakat ini. Isu sentral dalam hal ini ialah bagaimanamenemukan model yang dianggap paling efektif dari segi hasil (daya ramal terhadapperformasi peserta didik kemudian) tetapi efisien dari segi waktu, biaya dan tenaga. Hal ini disebabkan karena kondisi sarana pendidikan, akses terhadap lembaga-lembagapemeriksaan psikologis, dan kemampuan guru yang sangat beragam di Indonesia,sementara perhatian kepada anak-anak berbakat merupakan persoalan pendidikansecara nasional.

F.     Layanan Uuntuk Anak Berbakat
1. Kurikulum
Selain masalah kriteria dan prosedur identifikasi, perhatian khusus kepada anak berbakat melibatkan beberapa dimensi lain, seperti dikemukakan oleh Dedi Supriadi (1992; 11) yaitu; “Perancangan kurikulum, penyediaan sarana pembelajarannya, model perllakuannya, kerjasama dengan keluarga dan pihak luar, serta model bimbingan dan konselingnya”.
Kurikulum berdiferensiasi bagi anak berbakat mengacu pada penanjakan
kehidupan mental melalui berbagai program yang akan menumbuhkan kreativitasnya serta mencakup berbagai pengalaman belajar intelektual pada tingkat tinggi. Dilihat dari kebutuhan perkembangan anak berbakat, maka kurikulum berdiferensiasi memperhatikan perbedaaan kualitatif individu berbakat dari manusia lainnya.
Dalam kurikulum berdeferensiasi terjadi penggemukan materi, artinya materi kurikulum diperluas atau diperdalam tanpa menjadi lebih banyak.Secara kualitatif materi pelajaran berubah daalam penggemukan beberapa konsep esensial dari kurikulum umum sesuai dengan tuntutan bakat, perilaku, keterampilan dan pengetahuan serta sifat luar biasa anak berbakat.
Dengan demikian, kurikulum pendidikan seyogyanya bisa mengakomodasi dimensi vertikal maupun horisontal pendidikan anak.Secara vertikal, anak-anak berbakat harus dimungkinkan untuk menyelesaikannya pendidikannya lebih cepat.Secara horisontal, disediakan program pengayaan (enrichment), dimana siswa berbakat dimungkinkan untuk menerima materi tambahan, baik dengan tugas-tugas maupun sumber-sumber belajar tambahan, baik dengan tugas-tugas maupun sumber-sumber belajar tambahan.
2.    Model Pembelajaran
Untuk layanan pendidikan terhadap anak berbakat ini ada beberapa model yang dapat digunakan, yaitu; pengayaan, percepatan, dan segregasi. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Philip E. Veron (1979; 142) sebagai berikut; “Acceleration,segregation, and enrichment”. Sedangkan David G. Amstrong and Tom V. Savage (19883; 327) mengemukakan dua model, yaitu; “Enrichment and acceleration”. Penjelasan dari mode-model di atas adalah sebagai berikut :
Pengayaan (enrichment)
Dalam model enrichment ini anak mendapatkan pembelajaran tambahan sebagai pengayaan.Pengayaan ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu sebagaiberikut :
a)    Secara vertikal; Cara ini untuk memperdalam salah satu atau sekelompok mata pelajaran tertentu. Anak diberi kesempatan untuk aktif memperdalam ilmuPengetahuan yang disenangi, sehingga menguasai materi pelajaran secaraluas dan mendalam.
b)    Secara horizontal;Anak diberi kesempatan untuk memperluas pengetahuan dengan tambahanatau pengayaan yang berhubungan dengan pelajaran yang sedang dipelajari.
Percepatan (acceleration)
Secara konvensional bagi anak yang memiliki kemampuan superior dipromosikan untuk naik kelas lebih awal dari biasanya. Dalam percepatan ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut :
a)    Masuk sekolah lebih awal/sebelum waktunya (early admission), misalnyasebelum usia 6 tahun, dengan catatan bahwa anak sudah matang untukmasuk Sekolah Dasar. b)     Loncat kelas (grade skipping) atau skipping class, misalnya karenakemampuannya luar biasa pada salah satu kelas, maka langsung dinaikkanke kelas yang lebih tinggi satu tingkat (dari kelas satu langsung ke kelastiga). c)     Penambahan pelajaran dari tingkatan di atasnya, sehingga dapatmenyelesaikan materi pelajaran lebih awal. d)    Maju berkelanjutan tanpa adanya tingkatan kelas. Dalam hal ini sekolahtidak mengenal tingkatan, tetapi menggunakan sistem kredit. Ini berarti anakberbakat dapat maju terus sesuai dengan kemampuannya tanpa menungguteman-teman yang lainnya.
Segregasi
Anak-anak berbakat dikelompokkan ke dalam satu kelompok yang disebut “ability grouping” dan diberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar yang sesuai dengan potensinya. Mengenai sistem penyelenggaraan pendidikan, selain yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa sistem dalam pendidikan bagi anak berbajat, yaitu; (1) Sekolah khusus, (2) Kelas khusus, dan (Terintegrasi dalam kelas regular atau normal dengan perlakukan khusus.
Model pertama dan ke dua nampaknyabanyak mengundang kritik, karena cenderung eksklusif dan elit, sehingga bias menimbulkan kecemburuan sosial. Kedua sistem ini hanya bisa dilakukan untuk bidang-bidang tertenu saja.
Model yang kini populer adalah sistem dimana anak-anak berbakat diintegrasikan dalam kelas reguler atau normal.Cara ini mempunyai banyak keuntungan bagi perkembangan psikologis dan sosial anak. Hal yang menyulitkan adalah bagaimanakah perhatian diberikan secara berbeda melalui apa yang disebut “pengajaran yang diindividualisasikan”, yaitu settingnya kelas tetapi perhatian diberikan kepada individu anak. Konsekwensinya perlu kurikulum yang fleksibel, yaitu kurikulum yang berdiferensiasi, yang bisa mengakomodasi anak-anak biasa dan anak berbakat.
Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan anak berbakat menyangkut bagaimana anak-anak diperlakukan di sekolah melalui sistem pengelompokkan.Sistem pengelompokkan bermacam-macam, tetapi intinya ada dua, yaitu pengelompokkan homogen dan heterogen.Dasar pengelompokkan bisa berupa jenis kelamin, tingkat kemampuan belajar, atau minat-minat khusus pada mata pelajaran tertentu.
Fahrle, Duffi dan Schulz (1985) dalam DediSupriadi (1992; 23) mengemukakan bahwa program pendidikan untuk anak-anak berbakat harus memberikan kepada anak-anak dua macam pengalaman yang bernilai sosial.Pertama mereka harus memiliki kesempatan untuk bergaul secara luas dan wajar dengan teman-teman sebayanya.Kedua program pendidikan untuk anak-anak berbakat harus menyediakan peluang kepada peserta didik untuk secara intelektual tumbuh bersama rekan-rekan sebayanya.
Sistem manapun yang dipilih, penyelenggara harus tetap berpegang pada prinsip bahwa pendidikan itu tidak boleh mengorbankan fungsi sosialisasi nilai-nilai budaya (toleransi, solidaritas, kerja sama) kepada anak. Program pendidikan untuk anak-anak berbakat tidak identik dengan perlakuan yang eksklusif dan elitis, melainkan semata-mata supaya untuk memberikan peluang kepada anak didik untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Dalam layanan pendidikan bagi anak berbakat, khususnya pada jenjang sekolah dasar di Indonesia saat ini adalah sistem yang terpadu, yakni anak-anak berbakat masuk ke sekolah yang samaadian mereka diperlakukan dengan system pengajaran yang dindividualisasikan, yakni sistem yang memberikan perhatiansecara individual kepada setiap siswa dalam kelas biasa. Dengan demikian yang diperlukan dalam layan pendidikan bagi anak berbakat khususnya pada sekolah dasar, bukanlah sekolah, kelas, ataupun kurikulum khusus, melainkan modifikasi kurikulum dan sarana pendukungnya agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat.
3.    Model Penilaian
Pada bagian bagian identiffikasi telah dikemukakan tentang penilaian anak berbakat, pada bagian ini akan dikemukakan alat dan aspek penilaian. Proses penilaian pada anak berbakat sebetulnya tidak berbeda dari penilaian pada umumnya, namun karena pada cakupan kurikulum berbeda, maka akan berbeda dalam penerapan penilaian.
Penerapan penilaian mencakup ciri-ciri belajar yang berkenaan dengan tingkat berfikir tinggi.Biasanya anak berbakat sering mampu menilai hasil kinerjanya sendiri secara kritis. Selain itu setiap anak tersebut harus memperoleh
umpan balik tentang hasil kinerjanya secara terbuka (Conny Semiawan; 1994; 273). Biasanya penilaian yang menunjuk pada suatu asesmen dilakukan oleh guru yang bukan saja mengenal muridnya, melainkan juga melatih, mendidik dan mengamatinya sehari-hari. Asesmen ini adalah langkah dalam proses penyerahan dan penempatan tertentu dan merupakan rangkaian upaya perolehan informasi dan bukan semata-mata hasil proses tersebut.
Tujuan pengukuran pada dasarnya berbeda-beda, bila hendakmembandingkan anak tertentu, maka gunakan pengukuran acuan norma dengan :
1.    Membandingkan anak berbakat dengan seluruh populasi.
2.    Membandingkan anak berbakat dengan teman sebaya.
3.    Membandingkan anak berbakat dengan populasi anak berbakat lagi.
4.    Membandingkan anak berbakat dengan dirinya sendiri.
Sedangkan proses dan produk belajar yang mengacu pada ketuntasan belajar menggunakan instrumen dan prosedur yang merupakan :
1.    Pengejawantahan dari kekhususan layanan pendidikan anak berbakat.
2.    Hasil umpan balik untuk keperluan tertentu.
3.    Pemantulan tingkat kemantapan penguasaan suatu materi sesuai sifat,keterampilan, kemampuan maupun kecepatan belajar seseorang.
4.    Guru Anak Berbakat
Untuk menangani anak berbakat di Sekolah Dasar, tentunya membutuhkan guru-guru yang memiliki kemampuan yang khusus. Dalam hal ini David G. Armstrong And Tom V. Savage (1983; 334) mengutip pendapat James O. Schnur (1980) sebagai berikut; “most descriptions of capable teachers of the gifted and talnted”. Deskripsi kemampuan guru yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.    Memiliki kematangan dan keamanan.
2.    Memiliki kreativitas dan fleksibilitas.
3.    Memiliki kemampuan mengindividualisasikan materi pelajaran.
4.    Memiliki kedalaman pemahaman terhadap pengajaran.

G.    Problematika Anak Berbakat
Keberbakatan menimbulkan permasalahan bagi penyandangnya apabila mereka tidak memperoleh dukungan dan bantuan yang diperlukannya.Permasalahan itu terutama timbul pada masa remaja. Buescher dan Higham (1990) mengemukakan bahwa anak anak berbakat antara usia 11 dan 15 tahun sering menghadapi berbagai masalah sebagai akibat dari keberbakatannya yang meliputi: perfeksionisme, competitiveness, penilaian yang tidak realistis terhadap keberbakatannya, penolakan dari teman sebaya, kebingungan akibat “pesan-pesan” yang beraneka ragam sehubungan dengan bakatnya, dan tekanan dari orang tua serta masyarakat agar berprestasi, di samping permasalahan yang ditimbulkan oleh terlalu tingginya ekspektasi terhadap diri mereka.
Beberapa anak berbakat mengalami kesulitan dalam mendapatkan dan memilih teman, memilih jurusan di sekolah atau perguruan tinggi, dan akhirnya juga mengalami kesulitan dalam memilih karir.Masalah-masalah perkembangan yang dialami oleh semua remaja juga dialami oleh remaja berbakat tetapi masalahnya dibuat lebih kompleks oleh kebutuhan khusus dan karakteristik anak berbakat.Kemudian kesulitan utama remaja berbakat Salah satu nya juga disebabkan karena lingkungan belajar yang kurang menantang kepada mereka untukmewujudkan kemampuannya secara optimal.
Permasalahan tersebut sering di perdebatkan karena Di sisi lain memang masih adanya suara-suara sumbang yang menyangsikan keberhasilan pendidikan khusus bagi siswa cerdas dan berbakat. Kubu ini berpendapat bahwa penyelenggaraan pendidikan khusus bagi siswa cerdas dan berbakat lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya dan tidak mencerminkan alam demokratis, membentuk kelompok elit dan merupakan pemborosan.Beberapa alasan mengapa anak berbakat perlu diberikan pendidikan khusus (diutip dari soreson,1988).
1.        Keberbakatan muncul dari proses interaktif, dimana tantangan dari rangsangan lingkungan membawa keluar kapasitas yang dimiliki diri sendiri dan memprosesnya.
2.        System politik dan sosial kita bersandar pada prinif demokratis, jika sekolah mnediakan kesempatan pendidikan yang sama untuk semua anak, ini berarti mengingkari adanya hak perkembangan pendidikan yang cocok bagi anak berbakat.
3.        Anak berbakat dapat segera menemukan gagasan dan minat mereka yang berbeda dari anak sebayanya.
4.        Jika pendidik mempertimbangkan kebutuhan anak berbakat dan mendesain program pendidikan yang memenuhi kebutuhanya,maka siswa akan menunjukkan prestasi dan perkembangan yang luar biasa, sesuai dengan rasa kompetisi dan kesehaan mentalnya.
5.        Kontribusi anak berbakat pada masyarakat berada pada seluruh aspek kehidupan, dan proporsional dalam keseluruhan. Masyarakat akan banyak membutuhkan siswa seperti ini
Masalah anak berbakat lebih rawan dari pada anak biasa.Anak-anak dengan bakat luar biasa ternyata besar kemungkinannya untuk gagal maupun sukses pada masa dewasa.Kebanyakan dari mereka tidak sukses pada masa dewasa karena perlakuan yang mereka alami dan dalam beberapa kasus direngut dari masa kanak-kanak.Dalam beberapa kejadian, orang tua menekan anaknya begitu keras atau malah dipisahkan dari kelompok sebayanya, sehingga akhirnya hanya mempunyai sedikit teman .karena anak berbakat lebih rawan dari pada anak biasa, anak berbakat harus lebihdi berikan perhatian khusus.

1. Definisi Anak Berbakat Berprestasi Kurang
Dalam pengertian yang lebih luas, individu yang berprestasi kurang (underachiever) adalah individu yang tak bermotivasi. Mereka secara konsisten tidak menunjukkan usaha, bahkan mereka cenderung bekerja jauh di bawah potensinya. Dengan demikian, masalahnya bukanlah terletak pada kemampuan, melainkan terletak pada sikapnya. Mereka cenderung menghabiskan
kesempatannya, sehingga melupakan masa depannya. Mereka biasanya menolak, melalui tindakannya, bahwa apa yang mereka lakukan sekarang memiliki dampak bagi masa depannya. Mereka tidak dapat melihat atau mengijinkan atau menerima bahwa ketidakmampuannya menyelesaikan tugas dan mengabaikan tanggung jawabnya akan dapat menimbulkan kegagalan di masa depannya.
Pada dasarnya anak berbakat berprestasi kurang memiliki kemampuan intelektual untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, mereka tidak memiliki kemampuan menuntaskan pekerjaan, tidak berfungsi secara mandiri, dan tidak berproduksi dalam waktu yang telah ditetapkan.
Untuk memahami secara komprehensif tentang anak berprestasi kurang, maka berikut ini akan dikemukakan sejumlah definisi sebagai berikut:
Bricklin & Bricklin (1967) Siswa yang penampilannya di sekolah lebih lemah daripada yang diharapkan berdasarkan tingkat inteligensinya.
Fine (1967) Siswa yang rentangan kemampuan intelektualnya berada pada rentangan sepertiga bagian atas dari kemamuan intelektual, tetapi penampilannya secara dramatik berada di bawah tingkatannya.
Finney & Van Dalel (1966) Siswa yang skor DAT (Differential Aptitude Tests) berada pada 25% bagian atas bidang verbal dan numerikal dan Indeks Prestasi Komulatif (IPK)-nya berada di bawah rata-rata dari semua siswa yang menjadi peserta DAT.
Gowan (1957) Siswa yang berpenampilan 1 simpangan baku atau lebih bawahnya dari tingkat kemampuannya.
Newman (1974) Siswa yang berprestasi secara signifikan berada di bawah tingkat yang diprediksikan oleh IQ-nya, yang ditunjukkan dengan IPK C atau di bawah potensinya secara signifikan)
Pringle (1970) Siswa yang ber-IQ 120 atau di atasnya yang memiliki kesulitan pendidikan dan perilaku.
Shaw & McCuen (1980) Siswa yang potensinya berada pada bagian dari 25% di atas berdasarkan Tes Kemampuan Umum (IQ di atas 110) yang memperoleh IPK di bawah rata-rata.
Thorndike (1963) Siswa yang berprestasi kurang diukur dalam kaitannya dengan beberapa standar prestasi yang diharapkan atau diprediksikan.
Whitmore (1980) Siswa yang mendemonstrasikan kemampuannya yang unggul untuk prestasi akademik, tetapi tidak dapat tampil secara memuaskan berdasarkan hasil tugas akademik dan tes prestasinya untuk kesehariannya.
Zive (1977) Siswa dengan IQ tinggi yang mempunyai prestasi rendah di sekolahnya.
Para peneliti (Raph, Goldberg, and Passow, 1966) dan beberapa penulis mutakhir (Davis and Rimm, 1989) telah mendefinisikan berprestasi kurang (underachievement) berkenaan dengan suatu kesenjangan antara suatu performansi sekolah dan beberapa kemampuan yang sering diindikasikan dengan suatu indeks IQ.
Definisi ini, walau nampak jelas dan singkat, memberikan sedikit wawasan bagi orangtua dan guru yang bermaksud untuk menyelesaikan masalah ini dengan siswa secara individual. Cara yang lebih baik untuk mendefinisikan berprestasi kurang (underachievement) adalah mempertimbangkan berbagai komponen.
Pertama dan awal kalinya, bahwa berprestasi kurang (underachievement) adalah suatu perilaku yang dapat berubah sepanjang waktu. Sering kali berprestasi kurang (underachievement) dilihat sebagai suatu masalah sikap atau kebiasaan bekerja. Namun, perlu diketahui bahwa kebiasaan atau sikap dapat dimodifikasi secara langsung oleh prilaku.
Kedua, berprestasi kurang (underachievement) adalah sesuatu yang berkenaan dengan isi dan situasi yang spesifik. Anak-anak berbakat yang tidak berhasil di sekolah sering kali sukses dalam berbagai kegiatan di luar, seperti: olahraga, kegiatan sosial, dan bekerja setelah selesai sekolah. Bahkan seorang anak yang tampil secara kurang memuaskan untuk hampir pada semua mata pelajaran, mungkin menampilkan suatu bakat atau minat, paling tidak satu mata pelajaran. Dengan demikian, memberi nama seorang anak sebagai berprestasi kurang (underachievement) dapat juga mengurangi penghargaan terhadap setiap dampak positif atau perilaku yang ditampilkannya. Adalah lebih baik untuk memberikan label terhadap perilaku daripada anak (misalnya, anak itu lemah di matematika dan bahasa cenderung lebih baik daripada menyebut anak sebagai berprestasi kurang (underachievement).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat didefinisikan bahwa Anak Berbakat Berprestasi Kurang (AB2K) adalah anak berbakat yang menampilkan prestasi akademiknya lebih rendah secara berarti daripada potensi akademiknya, sehingga membtuhkan untuk bantuan dan fasilitasi yang sesuai untuk dapat mengoptimalkan perkembangan potensinya.
2.            Karakteristik Anak Berbakat Berprestasi Kurang
Menyadari akan kompklesitas keberadaan Anak Berbakat Berprestasi Kurang, maka setidak-tidaknya karakteristik anak berbakat akademik di antaranya sebagai berikut:
1.      Memiliki IQ yang sangat tinggi, 2. Memiliki kebiasaan kerja yang jelek, 3. Ketidakmampuan berkonsentrasi, 4. Kurang usaha dalam menjalankan tugas., 5. Minat yang kuat terhadap suatu bidang tertentu, sehingga melupakan akademiknya. 6. Pekerjaaannya sering tidak selesai. 7. Harga dirinya rendah 8. Menampilkan frustasi emosional 9. Bersikap negatif terhadap diri sendiri dan orang lain. 10. Tiadanya perhatian terhadap tugas yang sedang dihadapi.
Ada kecenderungan dua pola perilaku dasar, yaitu agresif dan menarik diri. Gambaran pola perilaku agresif, mencakup:
1) Penolakan yang terus menerus yang ditunjukkan dengan complain. 2) Mencari perhatian. 3) Mengganggu orang lain. 4) Penolakan yang terus menerus terhadap tugas yang ditetapkan. 5) Ketiadaan arahan diri dalam pembuatan keputusan. 6) Pemisahan yang terus menerus dari teman sebaya.
Gambaran pola perilaku menarik diri, mencakup:
1). Kurangnya komunikasi 2) Dikuasai oleh dunia fantasi 3) Bekerja sendiri 4) Sebentar dalam kelas ketika dalam penyelesaian pekerjaan. 5) Sedikit upaya dibuat untuk menjustifai perilaku.
Karakteristik dan pola-pola perilaku AB2K memang sering mewarnai
perilakunya. Perilaku-perilaku tersebut seringkali menjadi indikator penting
bagi orang lain untuk memberikan label, tanpa memperdulikan potensi apa
yang ada di baliknya. Dengan demikian sangatlah wajar bahwa banyak terjadi
AB2K yang tidak hanya merugikan anak-anaknya sendiri, melainkan juga
merugikan keluarga dan masyarakat.
3.            Penyebab Anak Berbakat Berprestasi Kurang
Whitmore (1980) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor sekolah yang menyebabkan gejala berprestasi kurang, di antaranya sebagai berikut:
1. Kurangnya respek yang tulus dari guru 2. Suatu iklim sosial yang kompetitif. 3. Tidak adanya fleksibilitas dan adanya kekakuan. 4. Penekanannya pada evaluasi eksternal. 5. Adanya sindrom kegagalan dan kondisi kritis yang mendominasi kecuali bagi orang-orang yang berprestasi. 6. Kontrol orang dewasa/guru secara konstan di kelas. 7. Kurikulum belajar yang tak apresiatif Ford and Thomas (1997) berdasarkan studinya mengemukakan secara lebih komprehensif bahwa faktor-faktor yang menyebabkan berprestasi kurang, mencakup faktor sosio-psikologis, faktor yang terkait dengan keluarga, dan faktor yang terkait dengan sekolah.
1. Faktor sosiopsikologis
Self-esteem yang rendah, kinerja akademik yang jelek, dan selfconcept sosial berkontribusi secara signifikan terhadap prestasi siswa yang rendah. Ford, Harris, and Schuerger (1993) menyatakan bahwa identitas rasial harus juga dieksplorasi pada siswa berbakat minoritas. Bagaimana mereka merasakan akan nenek moyangnya dari sisi kesukuannya. Siswa berbakat minoritas yang tidak memiliki identitas rasial positif memungkinkan dapat menimbulkan tekanan yang negatif dari kelompok sebayanya.
Di samping faktor-faktor tersebut, perefkesinisme, kondisi emosional, tekanan untuk bertindak konformis, rasa tak berdaya, kurangnya kemandirian, perlawanan yang serius terhadap kekuasaan sekolah,
2. Faktor yang terkait dengan keluarga
Beberapa studi telah mengeksplorasi pengaruh variabel keluarga terhadap prestasi siswa berbakat minoritas. Selain itu Clark (1983) melalui studinya terhadap siswa berkulit hitam yang berstatus sosial ekonomi rendah yang anak mengalami gejala berprestasi kurang menunjukkan bahwa
orangtuanya cenderung:
Ø  Kurang optimistik dan perasaan yang terekspresikan tentang ketidakberdayaan dan tak berpengharapan.
Ø  Kurang assertif dan terlibat dalam pendidikan anak-anaknya.
Ø  Menetapkan harapan yang tak realistik bagi anak-anaknya.
Ø  Kurang percaya diri berkenaan dengan keterampilan pengasuhan.
3. Faktor yang terkait dengan sekolah
Sejumlah faktor di sekolah yang berpengaruh terhadap prestasi siswa berbakat berprestasi kurang, di antaranya:
v  _ Hubungan antara guru-siswa kurang positif,
v  _ Memiliki waktu yang sedikit untuk memahami bahan.
v  _ Iklim sekolah yang kurang supportif.
v  _ Tidak termotivasi dan tak berminat untuk aktif di sekolah.
v  _ Kurangnya perhatian terhadap pendidikan multikultural di kelas.
v  _ Guru cenderung menunjukkan harapan yang lebih rendah terhadap siswa minoritas dan berpenghasilan rendah.
v  _ Sekolah tidak memberikan program yang sesuai dengan kebutuhan anak berprestasi kurang.
Jika diperhatikan realitas yang ada di lapangan bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi munculnya AB2K, yaitu faktor fisikal. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka kelengkapan organ tubuh dan tingkat kesempurnaan fisik, serta kualitas kondisi kesehatan Anak Berbakat Akademik mempengaruhi kenierja akademik.
Penanganan Anak Berbakat Berprestasi Kurang
1. Intervensi AB2K
Reis, Sally M. & McCoach, D. Betsy (2000) menyatakan bahwa penanganan AB2K pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua intervensi yaitu intervensi konseling dan edukatif.
Intervensi konseling berkonsentrasi untuk mengubah dinamika personal dan keluarga yang membantu AB2K. Intervensi konseling dapat meliputi konseling individual, kelompok dan keluarga. Beberapa upaya dini untuk memperbaiki prestasi akademik AB2K melalui perlakuan konseling tidak menunjukkan keberhasilan (Baymur & Patterson, 1965; Broedel, Ohlsen, Profit, & Southard, 1965). Hal ini dapat dipahami, karena dalam sebagian situasi konseling, tujuan konselor tidaklah memaksa AB2K menjadi seorang AB2K yang sukses, tetapi lebih diorientasikan untuk membantu mereka membuat keputusan apakah sukses merupakan suatau tujuan yang dikehendaki, jika ya maka perlu membantu perubahan kebiasaan dan kognisinya. Weiner (1992) menetapkan bahwa ada empat intervensi yang berbeda terhadap empat kelompok AB2K yang berbeda; yaitu (1) menguatkan sistem reward yang kurang, (2) menghilangkan handicap kognitif dan emosional, (3) mengatasi kesenjangan pendidikan, dan (4) memodifikasi kecenderungan pasif dan agresif. Konselor dan terapis dapat membantu AB2K menguatkan sistem reward yang kurang, memodifikasi kecenderungan perilaku pasif dan agresif, dan menghilangkan gangguan emosional; pendidik dapat membantu AB2K mengatasi kesenjangan pendidikan dan menghilangkan atau mengkompensasi gangguan kognitif.
AB2K yang tak termotivasi mungkin melihat tidak ada alasan untuk menjadi siswa yang lebih baik. Ketika bekerja dengan AB2K bertipe ini, seorang konselor seharusnya menemukan cara-cara untuk mengimplementasikan system reward yang akan mendorong usaha skolastik siswa dan mengukuhkan kesuksesan akademik. Orang tua dari AB2K bertipe ini mungkin memperoleh
manfaat dari strategi terapetik yang mendorongnya untuk berbicara secara positif tentang pendidikan, menunjukkan suatu minat terhadap kegiatan belajar anaknya, dan mengharagai pencapaian anaknya.
Walaupun AB2K bertipe pasif-agresif lebih memungkinkan mengindikasikan gangguan psikologis, tipe ini nampak cukup responsif terhadap psikoterapi (Weiner, 1992). Konseling terhadap tipe ini sangat efektif ketika siswa mencari layanan konseling atau setidak-tidaknya berpartisipasi di dalam proses konseling. Karena perilaku pasif-agresif anak-anak ini selalu muncul yang diwujudkan dengan melawan keluarga, maka intervensi konseling keluarga mungkin dapat membantu mengatasi AB2K tipe ini. Satu strategi konseling terhadap AB2K yang pasif-agresif, melibatkan bantuan orang dewasa untuk mengenal kemampuan dan minatnya, mengklarifikasi sistem nilai personalnya dan tujuan yang dikehendaki, serta melakukan penelusuran studi untuk melayani tujuannya sendiri daripada memenuhi kebutuhan orang lain.
Walaupun telah terbukti banyak keberhasilan untuk intervensi konseling dalam penangan AB2K, tetapi masih diakui bahwa ada sejumlah keterbatasan, karena semua layanan konseling dapat berhasil secara memuaskan.
Interversi edukatif bagi AB2K yang sangat terkenal dapat diwujudkan dengan sistem kelas khusus yang part time dan full time bagi AB2K (e.g., Butler-Por, 1987; Fehrenbach, 1993; Supplee, 1990; Whitmore, 1980). Dalam kelas-kelas ini, guru-guru berjuang untuk menciptakan suatu lingkungan yang nyaman untuk pencapaian prestasi siswa dengan merubah organisasi kelas tradisional. Biasanya, rasio siswa:guru yang lebih kecil, guru dapat menciptakan tipe-tipe aktivitas mengajar dan belajar yang kurang konvensional, guru-guru memberikan kepada siswa beberapa pilihan dan kebebasan di dalam melayih pengendaliannya terhadap iklimnya, serta siswa didorong untuk menggunakan strategi belajar yang berbeda.
Studi Emerick mengindikasikan bahwa suatu tipe intervensi yang efektif adalah didasarkan pada kekuatan dan minat siswa (Renzulli, 1977; Renzulli & Reis, 1985, 1997). Dalam studinya yang mutaakhir, peneliti menggunakan selfselected Type III dari Proyek Pengayaan sebagai suatu intervensi sistematik untuk siswa AB2K. Pendekatan secara spesifik mentargetkan kekuaran dan
minat siswa sehingga membantu mengatasi gejala berprestasi kurang bidang akademik. (Baum, Renzulli, & Hebert, 1995b). Dalam msuatu studi kualitatif teknik intervensi ini, lima gambaran utama dari proses pengayaan Tipe III yang berkontribusi terjadap keberhasilan intervensi. Faktor-faktor ini di antaranya sebagai berikut: hubungan dengan guru, penggunaan strategi self-regulation, kesempatan untuk meneliti topik-topik yang terkait dengan AB2K, kesempatan untuk bekerja berdasarkan bidang yang diminiati dalam suatu gaya belajar yang disukai, dan adanya waktu berinteraksi dengan kelompok sebaya.
2. Strategi dalam Mengatasi AB2K
a. Strategi Sekolah
Whitmore (1980) menjelaskan ada tiga tipe strategi yang dipandang efektif untuk mengatasi AB2K, yaitu di antaranya: _ Strategi supportif. Teknik dan desain kelas yang memungkinkan siswa merasa menjadi bagian dari “keluarga”, bukan pabrik, yang mencakup metode, yaitu: mengendalikan pertemuan kelas untuk mendiskusikan kepedulian siswa; merancang kegiatan kurikulum berdasarkan kebutuhan dan minat anak; dan memungkinkan siswa untuk menghentikan tugas-tugas tentang berbagai mata pelajaran yang telah mampu mereka tunjukkan
kompetensinya. • Strategi intrinsik. Strategi ini mengakomodasi ide bahwa konsep diri siswa sebagai pembelajar sangat terkait dengan keinginannya yang kuat untuk berprestasi secara akademik. Dengan demikian, sebuah kelas yang mengundang sikap positif adalah memungkinkan kita untuk mendorong mereka berprestasi. Dalam kelas tipe ini, guru mendorong untuk berusaha, bukan hanya sekedar sukses; mereka menghargai masukan siswa dalam membuat aturan kelas dan wujud tanggung jawabnya; serta mereka memungkinkan siswa untuk mengevaluasi karyanya sendiri sebelum menerima suatu penilaian dari guru. • Strategi remedial. Guru yang efektif dalam mengatasi perilaku underachiever mengenal bahwa siswa adalah tidak sempurna – bahwa setiap anak memiliki kekuatan dan kelemahan baik berkanaan dengan kebutuhan sosial, emosional, maupun intelektual. Dengan strategi remedial, siswa diberikan kesempatan untuk mempercepat dalam bidang-bidang yang menjadi kekuatannya dan minatnya, sementara itu kesempatan diberikan untuk bidang-bidang spesifik yang dirasakan ada kesulitan belajar. Remediasi ini dilakukan dalam suatu lingkungan yang aman, suatu lingkungan yang kesalahan-kesalahan terjadi dianggap menjadi bagian dari belajar setiap orang, termasuk guru. Selain daripada itu, Ford dan Thomas (1997) juga memberikan kontribusi bagi penangan anak berbakat berprestasi kurang, di antaranya:
1. Penyesuaian kurikulum untuk promosi kesuksesan dan prestasi. 2. Pengajaran remedial untu memperbaiki keterampilan akademik, 3. Memperbaiki keterampilan meniru dokumen. 4. Memperbaiki keterampilan studi, 5. Memperbaiki self-management. 6. Meningkatkan self esteem.
b. Strategi Keluarga
Ada beberapa strategi untuk mencegah dan mengatasi anak underachiever, yaitu:
_ Strategi supportif. Anak-anak berbakat hidup dalam iklim yang saling menghargai, tidak berkuasa, fleksibel, dan bertanya. Mereka memerlukan aturan dan pedoman yang reasonable, dukungan dan dorongan yang kuat, umpan balik positif yang konsisten, dan bantuan untuk menerima beberapa keterbatasan, baik berkenaan dengan mereka sendiri atau orang lain (Rimm,
1986).
_ Strategi instrinsik. Apakah anak-anak berbakat menggunakan kemampuannnya yang luar biasa dengan cara-cara yang konstruktif sebagian tergantung pada kepercayaan diri dan konsep dirinya. Menurut Halsted (1988), “anak berbakat intelektual tidak akan bahagia dan merasa sempurna sampai dia menggunakan kemampuannya sampai pada tingkat yang optimal.
Karena itu orangtua dan guru melihat dan memahami perkembangan intelektual, sehingga dapat memberikan bantuan yang sesuai. Memberikan suatu lingkungan pendidikan dini dan sesuai dapat menstimulasi suatu rasa cinta sejak dini terhadap belajar. Sebaliknya anak muda yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi dengan mudahnya akan menjadi redam, jika lingkungan pendidikan tidak menstimulasi; penempatan kelas dan pendekatan mengajar yang tidak tepat; anak mengalami guru yang tidak efektif; atau tugas yang secara konsisten terlalu sulit atau mudah. _ Praise versus encouragement. Penekanan yang berlebahan terhadap prestasi atau hasil belajar daripada usaha, keterlibatan, dan dorongan untuk belajar tentang topik yang menjadi minatnya adalah merupakan suatu perangkap orangtua secara umum. Garis antara tekanan (pressure) dan dorongan (encouragement) adalah halus, tetapi penting. Tekanan untuk tampil yang menekankan hasil seperti memenangkan piala dan mendapatkan A. Untuk anak yang berhasil memenuhi kemauan orangtua seperti itu anak mendapatkan penghargaan yang sangat tinggi. Dorongan (encouragement) menekankan pada usaha, proses yang digunakan untuk mencapai, langkah yang diambil untuk mencapai tujuan, dan perbaikan. Langkah ini meninggalkan penilaian kepada anak. AB2K diduga merupakan individu yang discouraged yang memerlukan dorongan, tetapi cenderung menolak penghargaan yang artifisial atau tidak tulus. (Kaufmann, 1987). _ Strategi remedial. Dinkmeyer and Losoncy (1980) memperhatikan orangtua menolak discouraging anak-anaknya dengan dominasi, inensitivikasi, mendiamkan, atau intimidasi. Komentar yang discouraging, misalnya: Jika kamu anak yang berbakat, mengapa kamu dapat D untuk bidang studi .......?” atau “Saya telah memberikan kamu sesuatu, mengapa kamu demikian .......? tidak akan pernah efektif. Kompetisi yang berlangsung secara konstan mungkin mengarahkan ke underachievement, terutama ketika seorang merasa apakah seperti seorang pemenang atau yang kalah. Kursus tentang keterampilan belajar, kursus tentang pengelolaan waktu, atau tutorial khusus mungkin tidak akan efektif jika siswa itu yang sudah lama mengalami gejala berprestasi kurang. Sebaliknya tutorial khusus mungkin sangat membantu bagi AB2K yang mengalami kesulitan akademik dalam waktu pendek. Umumnya, tutorial khusus bagi seorang AB2K sangat membantu ketika seorang orang tutor dipilih secara
berhati-hati untuk menyesuaikan dengan gaya belajar siswa. Kursus keterampilan belajar yang bersifat luas atau tutor-tutor yang tidak memahami AB2K cenderung lebih bersifat kurang baik daripada baiknya.
b. Strtaegi Kolaboratif
Pada kenyataannya bahwa terjadinya AB2K tidak bisa dilepaskan dari factor keluarga dan sekolah secara terkait, sehingga upaya menanganinya perlu adanya kolaborasi antara keduanya. Rimm ( Colangalo and Davis, 1995) menemukan bahwa penanganan sindrom Underachiever yang melibatkan kolaborasi antara sekolah dan keluarga dalam implementasi melalui enam
langkah, yaitu :
1. Assessmen
2. Komunikasi
3. Mengubah Harapan
4. Identifikasi Model Peran
5. Koreksi kekurangan
6. Modifikasi pengukuhan.


BAB III
KESIMPULAN
A.    KESIMPULAN
Seorang anak dikatakan anak luar biasa karena ia berbeda dengan anak-anak lainnya. Perbedaan terletak pada adanya ciri-ciri yang khas yang menunjukkan pada keunggulan dirinya. Namun, ‘keunggulan’ tersebut selain menjadi sebuah kekuatan dalam dirinya sekaligus menjadi ‘kelemahan’. Yang dimaksud sebagai kelemahan di sini adalah diabaikannya ia sebagai individu yang memiliki hak sama dalam mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dirinya.
Keberbakatan (giftedness)dan keunggulan dalam kinerja mempersyaratkan dimilikinya tiga cluster ciri-ciri yang saling terkait, yaitu: kemampuan umum atau kecerdasan di atas rata-rata, kreativitas, dan pengikatan diri terhadap tugas sebagai motivasi internal cukup tinggi. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, ketiga karakteristik tersebut perlu ditumbuhkembangkan dalam tiga lingkungan pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pada kenyataannya, beberapa Anak Berbakat Akademik yang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, mampu menunjukkan prestasi yang tinggi secara optimal ketika belajar berada dalam lingkungan akademik yang terstruktur, tetapi ada cukup banyak di antara mereka yang berisko berprestasi kurang, jika mereka tidak dapat membuat prioritas, tidak dapat menfokuskan sejumlah kegiatan yang terpilih, dan tidak mampu membuat rencana jangka panjang.  Di sisi lain, ada sejumlah siswa yang berprestasi kurang, tetapi mereka tidak merasa nyaman atau discouraged. Mereka cenderung agak tidak senang ketika di SMP dan SMA (karena organisasi dan struktur pendidikan yang kaku), tetapi mereka cenderung bahagia dan sukses ketika belajar di suatu lingkungan pendidikan yang memiliki suatu organisasi dan struktur yang berbeda. Dalam kondisi yang demikian mereka akan mampu mengatasi persoalannya sendiri. AB2K memang muncul dari berbagai faktor yang kompleks, namun apapun kondisinya kehadiran guru dan orangtua yang berarti dalam menangani AB2K dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Assessmen. Komunikasi Mengubah Harapan. Identifikasi Koreksi Kekurangan. Modifikasi Di Keluarga Dan Sekolah. Conforming & Nonconforming. Dependent. Conforming Dominant. Nonconforming Dominant
B.     SARAN
Orangtua sebaiknya merasa perlu menambah wawasan tentang tumbuh kembang anak, hal ini mencakup tahap-tahap perkambangan anak,  pola asuh dan pola didik anak. Dengan mengetahui informasi tentang tahap perkembangan anak, maka orangtua bisa secara dini mengenali hal-hak yang tidak biasa yang ada pada diri anak.
Kemudian, dengan memahami konsep-konsep pola asuh dan pola didik yang ilmiah, maka orangtua akan mampu menimimalisir kesalahan dalam menerapkan nilai, sikap, dan perilaku dalam menghadapi anak, terutama ketika anak-anak menunjukkan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dengan anak-anak seusianya.
Di samping orangtua, seorang pendidik atau guru dianjurkan juga menambah pengetahuan tentang perkembangan anak, disamping menguasai substansi mata pelajaran yang diajarkannya di dalam kelas, tentunya hal ini akan memudahkan bagi guru dalam mengambil pendekatan sesuai dengan kepribadian si anak.
Pemerintah sebagai payung utama pertumbuhan dan perkembangan warga negaranya, semestinya menaruh perhatian besar terhadap penelitian-penelitian, pengembangan-pengembangan terkait dengan pendidikan anak berbakat. Karena hal ini terkait dengan kesuksesan generasi muda sebuah negara dalam menyongsong masa depannya.


DAFTAR PUSTAKA

Clark, B. (1988), Growing Up Gifted (3rd ed.). Columbus, OH: Charles E.
Davis, G.A., and Rimm, S. B. (1998). Education of the Gifted and Talented (4th Ed.). Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Kitano, Margie K. dan Kirby, Darrell F. (1986), Gifted Education: A Comprehensive View, Boston: Little, Brown and Company.
Mangunsong, Frieda. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta: LPSP3 UI
Merrill Colangalo, Nicholas, and Daives, Gary A. (1991), Handbook of Gifetd Education, Boston: Allyn and Bacon
Munandar, Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta
Reis, Sally M. & McCoach, D. Betsy, The Underachievement of Gifted What Do We Know and Where Do We Go? Students Gifted Child Quartly, 2000, 44 (3), 152-170
Rimm, Sulvia, (1995), Why Bright Kids Get Poor Grades and What You Can Do About It, New York: Crown Publishers, Inc.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar